Sebelum mulai, izinkan aku mohon maaf bila ada pihak tak berkenan terutama
keluargaku. Untuk itu nama dan tempat disamarkan. Aku ucapkan terimakasih untuk
Retno (samaran) mahasiswi Universitas T yang telah sudi menulis.
Semoga menginspirasi pembaca atau menguatkan orang yang
mengalami seperti aku. Allah limpahkan rahmat dan Hidayah-NYa pada kita,
amiin!.
Profile
Panggil aku Mawar usia 30-an lahir di kota P, pulau di seberang pulau
Jawa sebagai bungsu dari 4 bersaudara. Kami keluarga Cina generasi ke-4 imigran
ke Indonesia. Kakek buyut pendatang dari negeri jauh di utara pada awal abad
20. Menurut cerita, kakek buyut berjualan kebutuhan pokok gula, garam beras
dll, keluar-masuk kampong dengan pikulan. Bisnis keluarga
berkembang pesat setelah pemerintah menggalakkan usaha yang dilakukan bangsa
sendiri (pribumi). Saat itu ada istilah Ali-Baba. Ali panggilan pribumi dan
Baba / pebisnis Cina. Pengusaha pribumi diberi kemudahan izin usaha bahkan izin
impor, tapi umumnya kesulitan modal. Sementara banyak etnis Cina modalnya kuat
membeli izin usaha dari pribumi, sehingga memudahkan bisnis expor-impor ke
Singapura, Malaysia dan Hongkong yang dikuasai etnis kami. Bisnis keluarga
makin besar, merambah semua bidang; pertambangan, emas, perkebunan dan
lainnya. Kekayaan keluarga kami diatas rata-rata orang kaya Indonesia,
above than ordinary rich.
Harta keluarga amat melimpah hingga orangtua cemas seandainya kami
sekeluarga (tiba-tiba) mati dan tidak ada yang mengurus harta kami. Untuk itu
kami sekeluarga tidak pernah melakukan perjalanan pesawat bersama-sama. Bila
liburan bersama, biasanya kami dibagi 2-3 flight. Papa-mama satu pesawat
sisanya dibagi 2 flight. Sehingga bila terjadi musibah, ada anggota keluarga
yang tetap melanjutkan bisnis.
Aku bercerita tentang keluarga sebab sangat terkait dengan kisah selanjutnya.
Papa lahir dan dibesarkan di kota P. Setelah lulus SMA studi bisnis di
negeri H (Hongkong). Begitu kembali papa menjadi businessman handal, banyak
relasinya di berbagai negara. Papa rendah-hati, pendiam, bicara terukur dan
seperlunya serta jarang marah. Mama dari pulau lain yang menjadi
karyawati perusahaan kakek sebelum bertemu papa. Mama orangnya keras, pintar,
lincah, banyak pergaulan hingga kadang kami fikir, papa sepertinya takluk pada
mama.
Banyak kebijakan perusahaan berasal dari ide mama dan selalu sukses.
Keduanya memang pasangan serasi dan saling mengisi.
Mengenal Islam
Masa kecilku penuh kebahagiaan. Dari SD hingga SMA aku sekolah swasta
terkemuka, siswanya banyak anak bupati, gubernur atau pejabat. Aku pun berbaur
tanpa memandang golongan, agama dan ras. Kadang aku diundang ke rumah mereka
(anak bupati/gubernur) sehingga kenal dekat keluarganya dan kelak bermanfaat
buat perusahaan kami.
Di sekolahku ada pelajaran agama untuk setiap pemeluknya. Jika ada pelajaran
agama tertentu, penganut agama lain diizinkan keluar, tetapi boleh juga
tinggal. Misalnya ada pelajaran Islam, aku lebih suka tinggal di kelas
mendengarkan apa yang diajarkan.
Aku non-Muslim, setiap minggu ke tempat ibadah kami, tetapi aku lebih
tertarik dengan Islam. Ada semacam panggilan dari hati paling dalam, Awalnya
kupikir hanya perasaan ingin-tahu. Tapi setiap mendengar adzan, hati aku selalu
bergetar.
Rumah kami sangat besar. Sering aku sendirian, orangtua sibuk di Jakarta dan
hanya beberapa hari di rumah dalam sebulan. Kakak-kakakku masih kuliah di LN,
sehingga rumah dengan 6 kamar besar, hanya dihuni aku sendiri. Pembantu, sopir
dan satpam tinggal di pavilion terpisah dengan rumah induk. Di kesunyian hati,
aku merasa sejuk setiap mendengar ayat Quran yang kadang tidak sengaja aku
dengarkan di TV.
Aku makin tertarik dengan pelajaran Islam. Melihat ibu guru mengenakan
kerudung dan wajah bersih bersinar membuat hati merasa sejuk. Dengan melihat
wajah ibu guru saja, aku merasakan damai. Tanpa sadar akupun mencatat apa yang
diajarkan, aku hapal ayat-ayat pendek. Semua terjadi begitu saja dan tak bisa
dicegah. Pernah ibu guru menghampiri aku yang secara refleks sedang mencatat
pelajaran tentang HAJI di papan tulis.
Beliau tahu aku non-muslim. Begitu mendekati tempat duduk aku. Jantung
berdebar keras membayangkan diusir dari kelas. Ternyata hanya tersenyum ramah
melihat catatanku. “Insya Allah kelak Mawar bersama ibu melaksanakan ibadah
Haji ya….”
Hubunganku dengan Ibu Aisyah (samaran) makin akrab, aku tidak sabar menanti
hari pelajarannya. Hubungan itu bagai anak dan ibu. Meski aku juga tetap
mengikuti pelajaran agamaku, tapi lebih banyak melamun bahkan tidak mencatat
sama sekali.
Sebagai gadis remaja tinggi 160 cm sedang mekar dan giat cari pacar. Banyak
komentar teman; tubuhku indah, proporsional, wajah oriental dan akan banyak
menarik perhatian laki. Tapi saat itu aku tak tertarik dengan pria seetnis.
Sebaliknya setiap Jumat aku suka melihat siswa muslim ibadah shalat Jumat, hati
langsung bergetar membayangkan andai salah satunya mau jadi pacarku. Dengan
wajah bersih bersinar, basah tetesan air wudhu, melangkah ke masjid di seberang
sekolah Ah…! Indahnya membayangkan wajah-wajah tersebut.
Aku tahu diri, mana ada pribumi yang mau menjadi pacarku. Banyak yang masih
membedakan ras. Pacaran dengan cina dianggap memalukan dan menjadi cemohan.
Aku pernah berpacaran dengan anak bupati. Dia memutuskan hubungan
hanya karena ayahnya calon Gubernur yang tidak mau anggota keluarga bisa
menghambat pencalonan, seperti anaknya berpacaran dengan cina. Alasannya sangat
mengada-ada tapi aku sadar; orangtuanya tentu tidak rela anaknya berhubungan
terlalu jauh denganku yang juga beda agama.
Tapi hatiku sudah bulat kelak punya suami pribumi bahkan bersedia masuk
Islam. Keputusan ini kelak membawa hidupku melewati perjalanan penuh ujian dan
cobaan.
Studi ke Australia dan Amerika
Lulus SMA aku study ke Aussie (Australia) dan Amerika mengikuti 2 kakakku.
Tak banyak yang perlu diceritakan. Hampir 5 tahun kemudian aku kembali dengan
gelar Master dan mengabdi untuk bisnis keluarga. Dalam waktu singkat profit
perusahaan meningkat pesat, terus membesar – merambah banyak sektor
bisnis. Aku punya akses ke para elite daerah, karena semasa sekolah aku
sudah mengenal keluarganya. Semua urusan perizinan aku selesaikan dengan mudah.
Aku masih single di pertengahan usia 20-an. Banyak pria berusaha
mendekatiku, dari pengusaha muda sukses hingga pemilik perusahaan besar.
Namun hatiku tidak bergetar sama sekali. Mencari suami itu mudah tapi aku
ingin mencari soulmate.
Romantisme dalam Islam
Suatu hari kantor mendapat staf baru dari kantor cabang di Jawa, 3 tahun
lebih tua dariku, wajah bersih dan etnis Jawa. Tutur-kata lembut, sopan, tinggi
proporsional dan ahhh…! Ini dia. Dia muslim taat. Wanita sekantor tidak
habisnya membicarakan dan berlomba mendapatkan perhatiannya. Menurut
laporan – dia amat rajin, jujur, berprestasi hingga dipromosikan ke posisi
lebih tinggi dan satu divisi denganku.
Awalnya aku jaga image sebagai anak Big Boss. Lama-lama hati enggak bisa
bohong,..sedikit demi sedikit namun pasti…aku jatuh cinta. Suatu saat kami
semobil dari kantor gubernur. Tiba-tiba dia meminta izin shalat Ashar di Masjid
Raya. Dari dalam mobil, kucermati ia berwudhu, melangkah ke masjid,
shalat…Ahhh!. Andai saja aku kelak bisa mengikuti di belakangnya.
Awalnya kami memanggil secara formal ‘Pak’ dan ‘Ibu’. Tapi
lama-lama secara tak sengaja aku memanggil “Mas” karena aku sering melihat
orang Jawa memanggil yang lebih tua, suami atau kakak dengan sebutan “Mas”. Dia
rikuh, tetapi lama-kelamaan terbiasa. Tapi itu aku lakukan bila hanya berdua,
tidak di kantor. Aku meminta dipanggil ‘Dik’ bukan ‘Ibu Mawar.’
Seperti pepatah Jawa, “Witing tresno jalaran kulino” terjemahan bebas
“Cinta tumbuh karena terbiasa selalu bersama.” Bayangkan bagaimana awal cinta
kami!!!
Kami duduk di belakang sopir mobilku. Awalnya membahas berkas kerja,
kadang tidak sengaja tangan kami bersentuhan. Dia secara sopan segera menarik
tangannya dan minta maaf. Ahh!…sebal rasanya. Padahal aku yang menginginkan.
Tapi itu tidak berlangsung lama, Akhirnya dia takluk. Aku biarkan tangannya
memegang berkas lalu aku pura-pura membahas sambil tanganku menyentuh jari dan
tangannya. Aku tidak pandai pura-pura. Dengan berani kugenggam jemarinya,
lama-lama dia (sebut saja Mas Fariz) merespon, menggenggam tanganku…ahh!…!
Sering aku pura-pura minta supir kembali dari suatu tempat, seolah ada yang
tertinggal … padahal hanya ingin berlama-lama dengan dia.
Suatu saat aku pura-pura ketinggalan sesuatu, meminta sopir ke rumah. Begitu
memasuki rumah orangtuaku, wajah Mas Fariz pucat. Dia gugup karena khawatir
papa (Big Boss) marah jika mengetahui pada jam kerja mampir ke rumahnya.
Aku bilang tidak perlu takut, bukankah anak Big Boss yang membawanya.
Setahun berlalu. Hubungan kami semakin erat tapi dia belum menyatakan cinta.
Mungkin takut ditolak apalagi beda agama. Hingga suatu saat dia menelpon
mengajak bertemu di restoran luar kota. Dia meminta datang sendirian
tanpa sopir.
Di restoran itu dia menyatakan cinta…langsung saja kuterima. Kukatakan aku
bersedia memeluk Islam dan sejak lama ingin masuk Islam, jadi mas Fariz semoga
menjadi pembimbingku. Airmatanya meleleh. Seumur hidup baru kali ini seorang
pria berlinangan airmata karena aku. Aku tidak kuasa menahan airmata dan yakin
mendapatkan ‘Soulmate.’
Di kantor kami bekerja seperti biasa. Tapi di luar kantor kami sepasang
kekasih. Dia mengajari shalat dan sedikit doa. Dia memang lelaki taat, menjaga
kesopanan dan tidak pernah melewati batas. Sehingga kadang aku yang menggoda,
namun dia selalu bilang, sabar!…tunggu waktunya. Seribu kali sayang,
serapat apapun ditutupi, sedikit demi sedikit bocor juga rahasia kami hingga
papa tahu …………….
Tentangan Keluarga
Suatu hari tiba-tiba papa datang ke ruangan aku, padahal amat sangat jarang
terjadi, jika ada keperluan biasanya aku dipanggil. Mulanya papa tidak
menanyakan hubungan aku dengan mas Fariz, tetapi sedikit demi sedikit topiknya
mengarah kesana. Akhirnya papa menanyakan kebenaran hubungan itu. Aku tidak
sanggup menjawab, wajah aku tertunduk. Papa menatap dan menunggu jawaban aku.
Aku tidak sanggup berbohong atau menyangkal, sebaliknya jika bilang “iya”
aku khawatirkan karir Mas Fariz. Aku hanya bisa menangis … Esoknya, Mas
Fariz tidak hadir, dia dipindahkan ke Jawa. Akupun kehilangan kontak.
Seminggu kemudian mas Fariz bercerita di telpon bahwa setelah papa
menemuiku, dia langsung menemuinya. Esok paginya dia harus kembali ke kantor
lama. Keadaan semakin parah, setiap karyawan di kantornya sudah tahu hubungan
kami. Banyak tuduhan kalau mas Fariz mengincar harta dan kedudukan dengan
memacariku. Berulangkali dia sebut nama Allah, bersumpah, cintanya kepadaku
bukan karena itu.
2 minggu kemudian dia resign, tetapi kami masih berhubungan telpon.
Dia mencari pekerjaan di perusahaan yang punya cabang di kota P agar bisa
menemui aku. 3 bulan kemudian dia mendapatkannya dengan gaji
jauh lebih kecil. Aku amat terharu, dia korbankan karirnya demi aku.
Kami pun bebas berhubungan tidak peduli perkataan orang di kantor, tapi papa
kembali mengetahui dan kali ini mama turun tangan.
Mereka tidak bedakan ras dan tidak keberatan bergaul dengan siapapun, tapi
tidak bisa diterima jika aku masuk Islam dan mereka sudah curiga. Maka
kujelaskan, aku sudah dewasa untuk mengambil keputusan hidup tanpa tergantung
papa-mama – jawaban yang membuat mereka murka.
Mereka berkata, banyak orang rela mati demi merasakan rumah mewah, sopir
tersedia tiap saat, mobil mewah, uang melimpah dan dihormati. Mereka katakan,
tanpa mereka aku tidak akan pernah bisa memperoleh kehidupan seperti ini. Aku
hanya menangis. Tapi hatiku bertekad apapun yang terjadi aku tidak akan
meninggalkan Mas Fariz.
Aku giat mendalami Islam. Saat istirahat kantor, aku pergi ke tokobuku besar
di Mal untuk membaca buku Islam. Pernah aku mengajak rekan kantor ke tokobuku.
Aku langsung ke rak buku Islam, dia ingatkan kalau aku ada di bagian rak buku
Islam. Aku bilang memang benar, aku mau membaca tentang Islam.
Klimaks
Kedua kakak laki-laki aku menikah dan menetap di Jakarta menjalankan bisnis
kami dan papa-mama sekarang lebih banyak tinggal di kota kami
bersama kakak perempuanku dan aku. Tapi hubungan aku dengan papa-mama semakin
renggang, kakakku pun sudah terprovokasi dan menjauh.
Aku dianggap bukan bagian keluarga dan tak diajak makan bersama di meja
makan. Pembantu disuruh memanggilku untuk makan bila mereka selesai
makan. Makanan yang ada adalah sisaan mereka dan pembantu tidak diperbolehkan
menambah. Akhirnya aku makan makanan sisa.
Jika mereka makan ayam, aku makan ceker dan kepala saja. Bayangkan
rasanya sakit hati. Aku bersabar dan mas Fariz selalu mengingatkan untuk
berbakti pada orangtua. Bisa saja aku akan di restoran termahal di kota
P.
Kakak perempuanku sebenarnya kasihan padaku, sehingga kadang dia menyimpan
sebagian makanan yang baru dimasak. Sehingga pada saat mama-papa selesai makan,
diam-diam dihidangkan untuk aku. Secara tidak terduga, mereka kembali ke
meja-makan dan memergoki. Langsung mama rebut piringnya dan melemparkan ke
lantai. Sambil menyindir tidak perlu kasihan sebab aku sanggup hidup tanpa
diberi makan mama-papa.
Ohh..! Mereka rupanya sudah amat membenci. Hancur berkeping hati aku. Aku
hanya menangis tetapi tidak menyesalI dan aku akan tetap bertahan.
Mas Fariz menyarankan bicara baik-baik agar papa-mama luluh. Suatu malam ada
kesempatan mendatangi mereka dan berbicara. Dengan tutur baik aku meminta maaf.
Aku tumpahkan perasaan semuanya. Tapi justru itu membuat mereka bertambah
murka. Mereka tuduh aku kena sihir dan menyarankan aku sadar.
Ya Allah! Aku sehat, Insya Allah tidak ada satupun sihir. Semua keinginan
murni dari panggilan jiwa yang tidak bisa aku cegah. Aku jelaskan lagi,
bahwa aku sudah dewasa hingga apapun keputusan bisa kupertanggung-jawabkan. Aku
bisa mandiri jika dikehendaki. Pendirian mereka pun tetap bahkan menantang,
jika sanggup hidup mandiri, sekarang juga serahkan seluruh harta yang aku
dapatkan selama hidup dengan mereka.
Karena tekad bulat, malam itu seluruh kartu credit, ATM, buku bank aku
serahkan. Uang yang aku punya hanya yang tinggal di dompet. Sepertinya tinggal
menunggu waktu untuk meninggalkan rumah. Esok paginya aku ada keperluan untuk
membuka lemari besi tempat penyimpanan surat berharga keluarga. Berulangkali
mencoba, aku tidak bisa membukanya.
Ternyata nomor kombinasinya diubah. Padahal ada barang pribadi aku: Ijasah,
perhiasan dan lain. Aku telpon papa tapi jawabannya sinis. Papa menyindir kalau
sanggup hidup mandiri, mengapa mau membuka lemari besi keluarga, pasti ada
barang yang mau dijual. Aku dikucilkan. Mereka menyiksa dengan caranya
sehingga aku menyerah. Aku mengadu ke mas Fariz dan mengatakan akan
minggat. Dia diam, lalu berpesan jangan sampai putus hubungan keluarga.
Beberapa hari kemudian aku tinggalkan rumah dan kos di dekat kantor. Aku
berpamitan baik-baik pada mama-papa. Tetapi mereka menoleh pun tidak. Aku masih
ada cukup uang di dompet. Aku bersumpah tidak akan meminta uang mereka.
Aku bertekad hidup mandiri. Selama bekerja di perusahaan papa, secara formal
aku digaji sesuai dengan posisiku. Tapi disamping itu setiap bulan, aku
mendapat uang-saku dari papa hampir 20x lipat gaji resmi. Sehingga penghasilan
sebulan cukup untuk hidup mewah selama setahun. Seluruh simpanan bank, mencapai
10 digit. Mungkin cukup biaya seumur hidup.
Sekarang aku tetap bekerja dengan harapan masih digaji. Tapi akhir bulan aku
tidak mendapat sepeserpun. Saat kutanyakan ke pembayaran gaji, ada perintah
menahan gajiku. Ya Allah, mereka lakukan cara apapun agar menyerah. Saat itu
juga kutinggalkan perusahaan papa selamanya.
Start from Zero
Saat kuadukan ke mas Fariz dia teramat sedih dan meminta maaf, karena dia
hidupku menderita. Dia rela andai aku tak kuat untuk mundur. Aku peluk dia dan
kupastikan keputusanku tidak berubah. Akupun semakin ingin hidup bersamanya.
Saat itu hanya dia sandaranku. Dengan berurai airmata, dia tanya lagi, apakah
rela menjadi muslimah dan menjadi istrinya. Kuciumi tangannya kukatakan
kukorbankan kehidupanku hanya untuk bisa hidup bersamanya dan tidak akan
menyesali.
Singkat cerita, dengan diantar mas Fariz aku mengucapkan kalimat syahadat di
sebuah masjid disaksikan imam dan beberapa jemaah masjid. Dia mengajak segera
menikah di kota kelahirannya. Kebetulan tugasnya dipindahkan ke pulau Jawa.
Sebelum menikah kami datangi rumah papa-mama. Tapi satpam di pintu gerbang
mengatakan kalau dia diperintahkan tidak boleh membuka pintu bila kami datang.
Sebenarnya ia mau membuka pintu. Tapi aku larang, khawatir mencelakai pekerjaan
Biarlah aku saja yang menderita. Aku tinggalkan secarik surat yang isinya mohon
doa restu bahwa aku akan menikah dengan Mas Fariz. Aku beritahukan ke pak
satpam aku sudah muslimah. Matanya berkaca-kaca saat kukatakan aku mualaf.
Keluarga mas Fariz menanyakan ketidakhadiran keluargaku di pernikahan kami.
Tapi setelah mas Fariz bercerita, mereka memahami. Kami menikah secara
sederhana. Keluarganya amat sangat menerimaku dengan hangat tanpa mempermasalahkan
keturunan Cina. Ibu mertuaku amat sayang kepadaku. Aku amat sangat bahagia
menjadi istrinya.
Aku hidup di rumah sederhana, kulalui dengan penuh kebahagiaan dan aku tidak
mengeluh sedikitpun dengan yang mas Fariz berikan. Aku tidak lagi bekerja, karena
aku ingin mengabdi pada suamiku. Disamping itu semua ijasah masih tersimpan di
lemari besi, aku tidak bisa melamar pekerjaan. Aku pun ingin membuktikan bisa
mandiri dengan suamiku.
Mas Fariz amat sangat menyayangiku tiap pagi sebelum berangkat kantor dia
memelukku. Tiap hari kubawakan ‘lunch box’ makan siang karena aku tidak mau dia
makan makanan masakan orang lain. Aku sangat posesif, ingin memiliki dan
melayani secara total. Tiap hari aku bangun sebelum dia bangun dan tidur
setelah dia benar-benar tidur untuk memastikan dia sudah benar-benar tidak
perlu aku layani lagi. Aku siapkan celana, baju, kaus kakinya tiap pagi sebelum
berangkat kerja. Sehingga dia tidak perlu memikirkan pakaian apa yang harus dia
pakai. Bahkan aku potong kukunya bila sudah panjang. Dia kujadikan pangeran
bagi diriku.
Tiap malam sebelum tidur, kami ngobrol dan saling mengajarkan bahasa. Dia
mengajari bahasa jawa, sedangkan aku mengajari bahasa mandarin. Dia amat cepat
belajar mandarin dalam waktu singkat dia menguasai kata-kata yang umum
diucapkan, kadang mengajakku bicara mandarin di rumah. Memang perusahaan
tempatnya bekerja milik etnis Cina dan banyak berhubungan dengan keturunan
Cina, sehingga bila berbahasa mandarin akan memberi keuntungan tambahan.
Suatu saat dia pulang membawa motor, kantornya memberi pinjaman cicilan
motor. Memang hanya motor, tapi aku bahagia sekali dengan yang dia dapatkan.
Berulangkali dia minta-maaf tak bisa membeli mobil seperti yang pernah
kumiliki. Aku katakan motor yang kita miliki jauh lebih mewah dari mobilku
dulu. Karena motor ini bukan sekedar dibeli dengan uang, tapi juga dengan
cinta.
Kehidupan perkawinan kami teramat indah, kalau di rumah nyaris kami tidak
bisa berjauhan. Tiap hari bagi kami adalah bulan madu. Setahun kemudian lahir
anak kami. Bayi itu sebut saja ‘Faisal’. Mas Fariz yang membacakan Azan dan
iqomat sesaat setelah lahir. Aku merasa lengkap kebahagiaanku. Setiap hari
bertambah bahagia bisa merasakan 2 orang “Fariz” dalam rumahku. Saat mas Fariz
ke kantor, aku di temani Fariz kecil. Aku mencintai 2 orang yang sama darah
dagingnya.
3 tahun anak kami hadir. Mas Fariz bercita-cita mendatangi orangtuaku,
oma-opanya Faisal. Dia ingin perkenalkan cucu mereka dan menyatukan aku dengan
papa-mama. Dia berharap dengan kehadiran Faisal, akan meluluhkan hati
orangtuaku. Tapi tiap menelpon, papa-mama bersikap seperti dulu. Bahkan waktu
kukatakan bahwa mereka punya cucu dariku, mereka menjawab, kalau mereka
tak merasa punya keturunan dariku…Ohh! malangnya anakku. Aku teramat sedih,
teganya papa-mama. Aku maklumi masih membenciku, tapi jangan pada anakku, cucu
mereka.
bersambung
Posting Komentar
hampir semua postingan ini merupakan hasil copy paste dari blog lain. namun kami sertakan link rujukan asli tulisan tersebut. jika ada yang keberatan mohon konfirmasinya. kami akan segera menghapus postingan tersebut