AR-RABI' BIN KHUTSAIM

“Wahai  Abu Yazid,  seandainya  Rasulullah  Sallallahu 'Alaihi Wasallam   melihatmu,  tentulah betiau mencintamu." (Abdullah  bin  Mas'ud)

Hilal bin Isaf bercerita kepada tamunya  yang bernama Mundzir Ats-Tsauri:  "Tidakkah  sebaiknya kuantarkan  engkau  kepada syaikh agar kita bisa menambah  keimanan  sesaat?,,  Jawab Mundzir:  "Baik, aku  setuju. Demi  Allah,  tiada  yang  mendorong  aku datang  ke Kufah  ini melainkan  karena ingin  bertemu  dengan gurumu, Rabi' bin Khutsaim  dan  rindu  untuk  bisa tinggal  sesaat  dalam  taman iman  bersamanya. Akan  tetapi apakah engkau sudah minta  izin  kepadanya? Kudengar  dia menderita  penyakit  rheumatik  sehingga  tidak keluar rumah  dan enggan menerima  tamu?"

Hilal  berkata:  "Memang  begitutah  orang-orang  Kufah  mengenalnya, sakitnya  itu  tidak  mengubahnya  barang  sedikitpun.',  Mundzir berkata: "Baiklah. Tetapi Anda  tahu bahwa  syeikh  ini memiliki  perasaan yang  halus, apakah menurut  Anda  kita  layak  mendahului  bicara dan  bertanya sesuka  kita? Atau  kita diam saja menunggu  beliau mulai bicara?"

Hilal  menjawab:  "Andaikata  engkau  duduk  bersama Rabi bin Khutsaim  selama setahun  lamanya,  maka  dia  tidak  akan bicara apapun kecuali  jika engkau yang mulai berbicara  dan akan terus diam bila tidak  kau dahului  dengan pertanyaan.  sebab dia menjadikan  ucapannya sebagai  dzikir  dan diamnya  untuk  berfikir."

Mundzir  berkata:  "Kalau  begitu,  marilah  kita  mendatanginya dengan barakah Allah  Subhanahu Wata'ala."

Kemudian pergilah  keduanya  kepada syaikh  itu. setelah memberi salam,  mereka  bertanya:  "Bagaimana  kabar  Anda  pagi  ini  wahai syeikh?"

Ar-Rabi'  : "Dalam  keadaan  lemah, penuh  dosa, memakan  rizki-Nya dan menanti ajalnya."

Hilal  :  "sekarang di Kufah ini ada  tabib yang handal. Apakah  syeikh mengizinkan  kami memanggilnya  untuk  Anda?"

Ar-Rabi'  : "Wahai  Hilal,  aku  tahu  bahwa  obat itu  adalah benar-benar berkasiat. Tetapi aku belajar dari kaum'Aad,  Tsamud, penduduk Rass  dan abad-abad di antara mereka.  Telah  kudapati  bahwa mereka sangat gandrung  dengan dunia,  rakus dengan segala  perhiasannya. Keadaan mereka lebih  kuat  dan  lebih ahli  dari  kita. Di  tengah-tengah mereka banyak tabib, namun  tetap saja  ada yang sakit. Akhirnya  tak  tersisa  lagi  yang mengobati maupun  yang  diobati karena binasa. (beliau menghela nafas panjang  dan berkata), seandainya itulah  penyakitnya,  tentulah  aku akan berobat."

Mundzir:  "Kalau  demikian,  apa Penyakit yang  Anda  derita wahai Syeikh?"
Ar-Rabi'  :  "Penyakitnya adalah dosa-dosa."
Mundzir:  "Lantas, apa obatnya?"
Ar-Rabi'  : "Obatnya adalah  istighfar."
Mundzir  : "Bagaimana bisa pulih  ke  seh  atanny  a?  "
Ar-Rabi'  : "Dengan  bertaubat,  kemudian  tidak  mengulangi  dosanya (Beliau menatap kedua  tamunya  sambil berkata), dosa yang  tersembunyi.  .  .  dosa  yang tersembunyi.  .  .waspadalah  kalian terhadap dosa yang meski tersembunyi dari orang-orang, namun  jelas  bagi Allah  Subhanahu Wata'ala,  segeralah  datangkan obatnya!"
Mundzir  : " Apa  obatny a?  "
Ar-Rabi'  :  "Dengan taubat nasuha  (lalu beliau menangis  hingga basah jenggotnya)."
Mundzir :  "Mengapa Anda menangis wahai Syeikh?"
Ar-Rabi'  : "Bagaimana aku  tidak menangis?  Aku  pernah berkumpul bersama suatu kaum  (yakni para sahabat)  dimana kedudukan  kami dibanding mereka seakan  sebagai  pencuri."

Hilal  bercerita: "Ketika  kami  asyik berbincang-bincang, tiba-tiba datanglah  seorang puteranya,  setelah memberi  salam dia  berkata: "Wahai  ayah,  ibu  membuatkan  roti  yang  manis  dan  lezat agar ayah mau  memakannya,  berkenankah  ayah  jika  aku  bawakan  kemari?"

Beliau berkata:  "Bawalah kemari." Pada  saat  puteranya keluar,  terdengar orang meminta-minta  mengetuk pintu.  Syeikh itu berkata: "Suruhlah ia  masuk."

Temyata dia adalah seorang tua yang berpakaian  compang-camping.  Air  liurnya  belepotan  kesana kemari,  terlihat  dari wajahnya  bahwa dia tidak begitu waras. Saya  terus memperhatikan hingga  kemudian masuklah  putera  Syeikh Rabi' membawa  roti  di  tangannya. Ayahnya  langsung  rnengsiyaratkan  agar roti  tersebut diberikan  kepada orang yangg meminta-minta  tersebut.

Roti  itu diletakkan di tangan pengemis  tersebut,  Sesegera  mungkin orang  itu  memakannya  dengan  lahap. Air  liur  rnengalir di  sela-sela roti yang di  makannya. Dia melahapnya hingga habis  tanpa sisa.

Putera Syeikh yang membawakan  roti  tersebut berkata: "Semoga Allah  merahmati  Ayah,  ibu  telah bersusah payah  untuk  membuat roti  itu  untuk  Ayah,  kami  sangat berharap  agar Ayah  sudi  menyantapnya  namun  tiba-tiba Ayah berikan  roti itu kepada orang linglung  yang tidak tahu  apa yang sedang dimakannya."  Syeikh menjawab:  "Wahai puteraku, jika  ia  tidak  tahu, maka  sesungguhnya Allah  Subhanahu Wata'ala Maha Tahu."  Kemudian  beliau membaca  firman Allah:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ

"Kamu seknti-kali  tidak  sampai  kepada  kebaktian  [yang sempurna], sebelum  kamu menafkahkan  sebagian  harta  yang kamu cintai...  "(Ali Imran:92)

Bersamaan ,dengan  itu,  tiba-tiba  datanglah  seseorang yang  masih terhitung sebagai kerabatnya dan berkata: "Wahai Abu  Yazid, Hasan bin Fatimah  terbunuh, semoga  keselamatan  tercurah atasnya  dan  juga ibunya." Maka Syeikh berkata: "lnnalillahi wa  inna ilaihi raaji'un,"lalu nembaca firman Allah  Subhanahu Wata'ala :

قُلِ اللَّهُمَّ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِي مَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ (٤٦)

"Kataknnlah,  Wahai  Allah, pencipta  langit dan bumi,  yang mengetahui yang  ghaib  dan  yang  nyata,  Engkaulah  yang  memutusknn  antara  hsmba-hambaMu  tentang  apa  yang  selalu  mereka  perselisihknn."  (Az Zurnar:46)

Akan  tetapi,  rupanya  orang  itu  belum  puas dengan  reaksi Syeikh, sehingga  dia  bertanya:  "Bagaimana pendapat  Anda  tentang  pembunuhnya?" Beliau  berkata:  "Kepada Allah  dia kembali dan menjadi hak perhitungannya."

Hilal  melanjutkan  ceritanya:  "Setelah kulihat  waktu  harnpir  memasuki Dhuhur,  aku berkata: "Wahai Syeikh, berilah aku nasihat."

Beliau berkata: "Wahai Hilal, janganlah engkau terpedaya dengan banyaknya  sanjungan orang terhadapmu,  sebab  orang-orang  tidak mengetahui  siapa dirimu  yang sebenamya, melainkanhanya  melihat  lahiriahmu  saja.  Ketahuilah,  sesungguhnya engkau  tergantung pada
amalanmu, setiap  amalanyang dikerjakan bukan  karena  Allah Subhanahu Wata'ala akan sia-sia."

Mundzir  juga  berkata:  "Wahai Syeikh, berilah  wasiat  kepadaku juga,  semoga Allah  membalas kebaikan Anda."

Beliau  berkata:  "Wahai Mundzir, bertaqwalah kepada Allah Subhanahu Wata'ala terhadap ilmu yang telah kau ketahui dan yang masih  tersembunyi bagimu, serahkanlah  kepada yang mengetahuinya. Wahai Mundzir  jangan sekali-kali salah  satu dari kalian berdoa: "Ya  Allah, aku telah bertaubat," lalu tidak melakukannya, sebab  dia dianggap dusta. Thpi katakanlah:

"Ya Allah,  ampunilah  aku," maka  itu  akan menjadi  doa. Ketahuilah wahai  Mundzir,  tidak  ada kebaikan  dalam  ucapan  melainkan  untuk tahlil, bertahmid kepada Allah, bertakbir kepada Allah, bertasbih kepada Allah,  bertanya  tentang kebaikan, menjaga dari  kejahatan, menyeru yang ma'ruf, mencegah  dari yang mungkar dan membaca  Al-Qur'an."

Mundzir  berkata:  "Telah  lama kami duduk  bersama  Anda, namun sedikitpun kami tidak mendengar ucapan  sya'ir dari Anda, sedangkan kami melihat sebagian  dari sahabat  Anda mengucapkannya."

Beliau berkata: "Tak ada sepatah katapun  yang aku  ucapkan kecuali akan dicatat di dunia dan kelak akan dibacakan di akhirat. Aku tidak suka mendapatkan bukuku  dibacakan di hari kiamat sedangkan di dalamnya ada kata-kata sya'ir."

Kemudian  beliau  memperhatikan  kami  dan berkata:  "Perbanyaklah mengingat  mati,  karena  ia adalah perkara  ghaib  yang  amat dekat tiba saatnya.  Sesuatu  yang ghaib meskipun  lama waktunya,  pasti serasa dekat ketika datangnya."

Beliau  terisak menangis sambil berkata  terbata-bata:  "Apa yang akan akuperbuat kelak tatkala:
كَلا إِذَا دُكَّتِ الأرْضُ دَكًّا دَكًّا (٢١)وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا (٢٢)وَجِيءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الإنْسَانُ وَأَنَّى لَهُ الذِّكْرَى (٢٣)

Jangan (berbuat demikian). apabila bumi digoncangkan berturut-turut, Dan datanglah Tuhanmu; sedang Malaikat berbaris-baris. Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. (Al-Fajr  21,-23)

Belum  lagi  beliau selesai  bicara, terdengar suara adzan Dzuhur. Bersamaan  dengan  itu  puteranya  datang, lalu Syeikh berkata  kepadanya:  "Mari  kita  sambut panggilan  Allah."

Puteranya  berkata kepada kami: "Tolong bantu saya  untuk memapah  beliau ke masjid. Semoga Allah  Subhanahu Wata'ala   membalas kebaikan kepada kalian."

Kemudian  kami  memapahnya  bersama-sama sehingga dia  bisa bergantung  di antara aku dan puteranya pada saat  berjalan. Mundzir berkata: "Wahai Abu Yazid, sesungguhnya Allah  Subhanahu Wata'ala   memberi rukhshah (keringanan) bagi Anda  untuk  boleh shalat di  rumah."

Beliau berkata:  "Memang  benar apa yang  Anda  katakan,  akan  tetapi aku mendengar seruan:  "Marilah  menuju kemenangan!" Barang siapa mendengar  seruan  itu  hendaknya  mendatanginya  walau  harus dengan  merangkak..."

Setelah  cerita tersebut...tahukah  Anda,  siapakah sebenarnya Ar-R.abi'  bin  Khutsaim  itu?

Beliau adalah salah satu ulama  tabi'in  yang  utama  dan satu di an:ara delapan orang yang dikenal paling zuhud  di masanya.  Beliau orang Arab asli,  suku Mudhar  dan silsilahnya bertemu  dengan Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam pada kakeknya,  Ilyas dan Mudhar.  Beliau tumbuh  di atas ketaatan kepada Allah  sejak usia dini.

Ibunda  beliau  sering  terbangun  di  tengah malam  dan melihatnya masih berada di mihrabnya, hanyut  dalam munajahnya  dan tenggelam dalam shalatnya. Ibunya menegur: "wahai  anakku Rabi’  tidakkah  engkau  tidur?,,  Beliau menjawab:  "Bagaimana bisa tidur  seseorang yang di waktu  gelap khawatir  akan disergap musuh?"

Melelehlah  air mata di  pipi  ibu  yang  telah  lanjut  usia  dan  lemah itu,  lalu  didoakanlah  putranya  agar mendapat  kebaikan'

Ar-Rabi’  tumbuh  menjadi  dewasa, seiring  dengan bertambah  wara’ dan  takutnya  kepada Allah Subhanahu Wata'ala .  Seringkali  ibunya  merasa khawatir  karena melihat  puteranya  sering  menangis  sendiri  ditengah  malam, padahal orang iain  tengah lelap dengan tidurnya. Sampai-sampai terlintas  di benak  Ibunya  sesuatu yang  bukan-bukan  lalu  beliau  memanggilnya.

Ibu:"Apa yang sebenarya terjadi atas dirimu wahai anakku apakah ergkau telah  berbuat  jahat  atau telah membunuh  orang?"
Ar-Rabi'  : "Benar, aku  telah membunuh  seorang jiwal.
Ibu  : "siapakah  gerangan yang  telah engkau bunuh'  nak? Katakanlah
agar aku., bisa meminta  orang-orang  menjadi  perantara  untuk  berdamai  dengan  keluarganya,  mungkin  mereka  akan memaafkanmu. Demi Allah seandainya keluarga korban itu mengetahui tangisan dan penderitaanmu  itu, tentulah mereka akan merasa kasihan melihatmu."
Ar-Rabi’  : ,,Wahai ibu, jangan beritahukan  kepada siapapun, aku  telah membunuh  jiwaku  dengan  dosa-dosa"'

Beliau adalah murid  dari Abdullah  bin Mas'ud  sahabat Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam  dialah murid  yang paling  banyak meneladani  sikap dan perilakunya. Hubungan A-Rabi’ dengan  gurunya  layaknya  seorang anak dengan ibunya  Kecintaan  guru  terhadap  muridnya  laksana  kasih  sayang seorang  ibu  terhadap  anak  tunggalnya.  Ar-Rabi'  biasa keluar  masuk rumah  gurunya  tanpa harus meminta  izin bila dia datang maka yang tidak diizinkan masuk sebelum Ar-Rabi' keluar.

Ibnu Mas'ud Radhiyallahu ‘Anhu   merasakan  ketulusan dan keikhlasan Ar-Rabi', kebagusan ibadahnya yang memancar kuat di hatinya, rasa  kecewanya lantaran tertinggal  dari  zaman Nabi  Sallallahu 'Alaihi Wasallam ,  sehingga  tidak  mendapat kesempatan untuk menjadi salah  satu  sahabat beliau.  Ibnu  Mas'ud berkata kepadanya: "Wahai  Abu  Yazid, seandainya Rasulullah  rnelihatmu, tentulah  beliau  rmencintaimu." Beliau  juga berkata:  " Setiap  kali melihat mu aku  teringat pada para mukhbitin  [orang-orang  yang tunduk  patuh kepada  Allah].

Apa  yang dikatakan  oleh Abdullah bin Mas'ud tidaklah berlebihan, karena Rabi' bin  Khutsaim  telah mampu  mencapai kesederhanaan dan ketakwaan yang  jarang bisa dilakukan  oleh orang lain dan selalu diunggulkan dalam berita-berita  yang mengharumkan  lembaran sejarah. Diantaranya yang disebutkan oleh salah  satu kawannya:

Sudah 20  tahun aku bertaman dengan Ar-Rabi', namun belum pernah kudengar  dia  mengucapkan suatu  perkataan  kecuali  perkataan yang naik  kepada Allah,  lalu beliau membaca:
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ ….(١٠)

kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (Fathir:10)

Abdurrahman bin  Ajlan  bercerita: "Suatu malam aku menginap dirumah  Ar-Rabi'. Ketika dia merasa  yakin bahwa aku telah tertidur, beliau bangun  lalu  shalat sambil membaca ayat:

أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ (٢١)

Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, Yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu. (Al Jatsiyah: 21).

Beliau menghabiskan  sepanjang malamnya  untuk  shalat dan mengulang-ulang  ayat  tersebut  hingga  fajar,  sementara air mata membasahi kedua pipinya.

Berita tentang  rasa  takut  Rabi' bin  Khutsaim  kepada Allah  begitu banyak,  di  antara  contohnya  adalah  kisah  yang  diceritakan  seorang kawannya:
“Suatu hari  kami  pergi  menyertai  Abdullah  bin  Mas'ud  ke suatu tempat bersama Ar-Rabi'  bin Khutsaim.  Tatkala perjalanan kami  sampai  di  tepi  sungai Eufrat  kami melewati  suatu perapian  besar tempat membakar  batu  bata. Apinya  menyala  berkobar-kobar,  terbayang akan kengeriannya,  semburan apinya menjilat  dengan dahsyatnya, gemuruh  suara percikan  apinya  dan gemertak batu bata yang  sudah dimasukkanke  dalamnya.

Tatkala melihat  pemandangan  itu, Ar-Rabi'  telpaku  di  tempatnya, tubuhnya  menggigil  dengan  hebatnya  lalu  beliau  membaca  firman Allah Subhanahu Wata'ala :

وَإِذَا أُلْقُوا مِنْهَا مَكَانًا ضَيِّقًا مُقَرَّنِينَ دَعَوْا هُنَالِكَ ثُبُورًا

"Apabila nerakn  itu  melihat mereka  dari  tempat  yang jauh, mereka mendengar  kegeramannya  dan suara nyalanya. Dan apabila mereka dilempaikan  ke  tempat  yang sempit  di neraka  itu  dengan  dibelenggu, mereka  di sana  mengharapkan  kebinasaan'"  (Al  Furqan:13)

Hingga  akhirnya  beliau  pingsan. Kami  merawatnya  hingga  sadar kembali  lalu membawanya  pulang  ke rumahnya."

Ar-Rabi,  mengisi  seluruh  hidupnya  untuk  menanti  kematian  dan mempersiapkan  bekal  untuk  menjumpainya.  Pada saat ajal mendekatinya,  puterinya menangis,  lalu beliau berkata:  "Apa yang membuatmu menangis  Wahai puteriku,  padahal  kebaikan  tengah  menanti  dihadapan  ayahmu?"  Sebentar  kemudian  ruhnya  kembali  keharibaan Rabbnya.

Disalin dari :
SHUWAR MIN HAYATIT TABI’IN
KARYA :
Dr. ABDURRAHMAN RA’FAT BASYA

TERBITAN AT-TIBYAN SOLO
DENGAN
JUDUL JEJAK PARA TABI’IEN

DISALIN ULANG OLEH

ABU AMMAR

nantikan kisah berikutnya. Insya Alloh
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. abu-uswah - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger