JERITAN SEORANG SUAMI


::::. Empat tahun yang lalu, kecelakaan telah merenggut orang yang kukasihi, sering aku bertanya-tanya, bagaimana keadaan istri saya sekarang di alam surgawi, baik-baik sajakah? Dia pasti sangat sedih karena sudah meninggalkan sorang suami yang tidak mampu mengurus rumah dan seorang anak yang masih begitu kecil. Begitulah yang kurasakan, karena selama ini saya merasa bahwa saya telah gagal, tidak bisa memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani anak saya, dan gagal untuk menjadi ayah dan ibu untuk anak saya.

::::. Pada suatu hari, ada urusan penting di tempat kerja, aku harus segera berangkat ke kantor, anak saya masih tertidur. Ohhh… aku harus menyediakan makan untuknya. Karena masih ada sisa nasi, jadi aku menggoreng telur untuk dia makan. Setelah memberitahu anak saya yang masih mengantuk, kemudian aku bergegas berangkat ke tempat kerja.

::::. Peran ganda yang kujalani, membuat energiku benar-benar terkuras. Suatu hari ketika aku pulang kerja aku merasa sangat lelah, setelah bekerja sepanjang hari. Hanya sekilas aku memeluk dan mencium anakku, saya langsung masuk ke kamar tidur, dan melewatkan makan malam. Namun, ketika aku merebahkan badan ke tempat tidur dengan maksud untuk tidur sejenak menghilangkan kepenatan, tiba-tiba saya merasa ada sesuatu yang pecah dan tumpah seperti cairan hangat! Aku membuka selimut dan….. di sanalah sumber ‘masalah’nya … sebuah mangkuk yang pecah dengan mie instan yang berantakan di seprai dan selimut!

::::. Oh…Tuhan! Aku begitu marah, aku mengambil gantungan pakaian, dan langsung menghujani anak saya yang sedang gembira bermain dengan mainannya, dengan pukulan-pukulan! Dia hanya menangis, sedikitpun tidak meminta belas kasihan, dia hanya memberi penjelasan singkat:

::::. “Dad, tadi aku merasa lapar dan tidak ada lagi sisa nasi. Tapi ayah belum pulang, jadi aku ingin memasak mie instan. Aku ingat, ayah pernah mengatakan untuk tidak menyentuh atau menggunakan kompor gas tanpa ada orang dewasa di sekitar, maka aku menyalakan mesin air minum ini dan menggunakan air panas untuk memasak mie. Satu untuk ayah dan yang satu lagi untuk saya .. Karena aku takut mie’nya akan menjadi dingin, jadi aku menyimpannya di bawah selimut supaya tetap hangat sampai ayah pulang. Tapi aku lupa untuk mengingatkan ayah karena aku sedang bermain dengan mainan saya … Saya minta maaf Dad … “

::::. Seketika, air mata mulai mengalir di pipiku … tetapi, saya tidak ingin anak saya melihat ayahnya menangis maka aku berlari ke kamar mandi dan menangis dengan menyalakan shower di kamar mandi untuk menutupi suara tangis saya. Setelah beberapa lama, aku hampiri anak saya, memeluknya dengan erat dan memberikan obat kepadanya atas luka bekas pukulan dipantatnya, lalu aku membujuknya untuk tidur. Kemudian aku membersihkan kotoran tumpahan mie di tempat tidur.

::::. Ketika semuanya sudah selesai dan lewat tengah malam, aku melewati kamar anakku, dan melihat anakku masih menangis, bukan karena rasa sakit di pantatnya, tapi karena dia sedang melihat foto mommy yang dikasihinya.

::::. Satu tahun berlalu sejak kejadian itu, saya mencoba, dalam periode ini, untuk memusatkan perhatian dengan memberinya kasih sayang seorang ayah dan juga kasih sayang seorang ibu, serta memperhatikan semua kebutuhannya. Tanpa terasa, anakku sudah berumur tujuh tahun, dan akan lulus dari Taman Kanak-kanak. Untungnya, insiden yang terjadi tidak meninggalkan kenangan buruk di masa kecilnya dan dia sudah tumbuh dewasa dengan bahagia.

::::. Namun… belum lama, aku sudah memukul anakku lagi, saya benar-benar menyesal…. Guru Taman Kanak-kanaknya memanggilku dan memberitahukan bahwa anak saya absen dari sekolah. Aku pulang kerumah lebih awal dari kantor, aku berharap dia bisa menjelaskan. Tapi ia tidak ada dirumah, aku pergi mencari di sekitar rumah kami, memangil-manggil namanya dan akhirnya menemukan dirinya di sebuah toko alat tulis, sedang bermain komputer game dengan gembira. Aku marah, membawanya pulang dan menghujaninya dengan pukulan-pukulan. Dia diam saja lalu mengatakan, “Aku minta maaf, Dad”.

::::. Selang beberapa lama aku selidiki, ternyata ia absen dari acara “pertunjukan bakat” yang diadakan oleh sekolah, karena yg diundang adalah siswa dengan ibunya. Dan itulah alasan ketidakhadirannya karena ia tidak punya ibu…..

::::. Beberapa hari setelah penghukuman dengan pukulan rotan, anakku pulang ke rumah memberitahu saya, bahwa disekolahnya mulai diajarkan cara membaca dan menulis. Sejak saat itu, anakku lebih banyak mengurung diri di kamarnya untuk berlatih menulis, yang saya yakin, jika istri saya masih ada dan melihatnya ia akan merasa bangga, tentu saja dia membuat saya bangga juga!

::::. Waktu berlalu dengan begitu cepat, satu tahun telah lewat. Saat ini musim dingin, dan hari libur telah tiba. Keceriaan ada dimana-mana juga di hati setiap orang yg lalu lalang… tapi astaga, anakku membuat masalah lagi. Ketika aku sedang menyelasaikan pekerjaan di hari-hari terakhir kerja, tiba-tiba kantor pos menelpon. Karena pengiriman surat sedang mengalami puncaknya, tukang pos juga sedang sibuk-sibuknya, suasana hati mereka pun jadi kurang bagus.

::::. Mereka menelpon saya dengan marah-marah, untuk memberitahu bahwa anak saya telah mengirim beberapa surat tanpa alamat. Walaupun saya sudah berjanji untuk tidak pernah memukul anak saya lagi, tetapi saya tidak bisa menahan diri untuk tidak memukulnya lagi, karena saya merasa bahwa anak ini sudah benar-benar keterlaluan. Tapi sekali lagi, seperti sebelumnya, dia meminta maaf : “Maaf, Dad”. Tidak ada tambahan satu kata pun untuk menjelaskan alasannya melakukan itu.

::::. Setelah itu saya pergi ke kantor pos untuk mengambil surat-surat tanpa alamat tersebut lalu pulang. Sesampai di rumah, dengan marah saya mendorong anak saya ke sudut mempertanyakan kepadanya, perbuatan konyol apalagi ini? Apa yang ada dikepalanya? Jawabannya, di tengah isak-tangisnya, adalah : “Surat-surat itu untuk mommy…..”.
Tiba-tiba mataku berkaca-kaca….. tapi aku mencoba mengendalikan emosi dan terus bertanya kepadanya: “Tapi kenapa kamu memposkan begitu banyak surat-surat, pada waktu yg sama?”
Jawaban anakku itu : “Aku telah menulis surat buat mommy untuk waktu yang lama, tapi setiap kali aku mau menjangkau kotak pos itu, terlalu tinggi bagiku, sehingga aku tidak dapat memposkan surat-suratku. Tapi baru-baru ini, ketika aku kembali ke kotak pos, aku bisa mencapai kotak itu dan aku mengirimkannya sekaligus”.

::::. Setelah mendengar penjelasannya ini, aku kehilangan kata-kata, aku bingung, tidak tahu apa yang harus aku lakukan, dan apa yang harus aku katakan …. Aku bilang pada anakku, “Nak, mommy sudah berada di surga, jadi untuk selanjutnya, jika kamu hendak menuliskan sesuatu untuk mommy, cukup dengan membakar surat tersebut maka surat akan sampai kepada mommy. Setelah mendengar hal ini, anakku jadi lebih tenang, dan segera setelah itu, ia bisa tidur dengan nyenyak. Saya berjanji akan membakar surat-surat atas namanya, jadi saya membawa surat-surat tersebut ke luar, tapi…. saya jadi penasaran untuk tidak membuka surat tersebut sebelum mereka berubah menjadi abu.
Dan salah satu dari isi surat-suratnya membuat hati saya hancur……
‘Mommy sayang’,

::::. Saya sangat merindukanmu! Hari ini, ada sebuah acara ‘Pertunjukan Bakat’ di sekolah, dan mengundang semua ibu untuk hadir di pertunjukan tersebut. Tapi kamu tidak ada, jadi saya tidak ingin menghadirinya juga. Aku tidak memberitahu ayah tentang hal ini karena aku takut ayah akan mulai menangis dan merindukanmu lagi.
Saat itu untuk menyembunyikan kesedihan, aku duduk di depan komputer dan mulai bermain game di salah satu toko. Ayah keliling-keliling mencari saya, setelah menemukanku ayah marah, dan aku hanya bisa diam, ayah memukul aku, tetapi aku tidak menceritakan alasan yang sebenarnya.

::::. Mommy, setiap hari saya melihat ayah merindukanmu, setiap kali dia teringat padamu, ia begitu sedih dan sering bersembunyi dan menangis di kamarnya. Saya pikir kita berdua amat sangat merindukanmu. Terlalu berat untuk kita berdua, saya rasa. Tapi mom, aku mulai melupakan wajahmu. Bisakah mommy muncul dalam mimpiku sehingga saya dapat melihat wajahmu dan ingat anda? Temanku bilang jika kau tertidur dengan foto orang yang kamu rindukan, maka kamu akan melihat orang tersebut dalam mimpimu. Tapi mommy, mengapa engkau tak pernah muncul?

Setelah membaca surat itu, tangisku tidak bisa berhenti karena saya tidak pernah bisa menggantikan kesenjangan yang tak dapat digantikan semenjak ditinggalkan oleh istri saya ….
*****

::::. Untuk para suami, yang telah dianugerahi seorang istri yang baik, yang penuh kasih terhadap anak-anakmu selalu berterima-kasihlah setiap hari padanya. Dia telah rela menghabiskan sisa umurnya untuk menemani hidupmu, membantumu, mendukungmu, memanjakanmu dan selalu setia menunggumu, menjaga dan menyayangi dirimu dan anak-anakmu.
Hargailah keberadaannya, kasihilah dan cintailah dia sepanjang hidupmu dengan segala kekurangan dan kelebihannya, karena apabila engkau telah kehilangan dia, tidak ada emas permata, intan berlian yg bisa menggantikan posisinya.
dari byk sumber ^_^

DISALIN DARI : HAA
 

3 Bulan Tidak Mampu Memandang Wajah Suami




Bismillahirrahmaanirrahiim

Perkawinan itu telah berjalan empat 4 tahun, namun pasangan suami istri itu belum dikaruniai seorang anak. Dan mulailah kanan kiri berbisik-bisik: “kok belum punya anak juga ya, masalahnya di siapa ya? Suaminya atau istrinya ya?” Dari berbisik-bisik, akhirnya menjadi berisik.

Tanpa sepengetahuan siapa pun, suami istri itu pergi ke salah seorang dokter untuk konsultasi, dan melakukan pemeriksaaan. Hasil lab mengatakan bahwa sang istri adalah seorang wanita yang mandul, sementara sang suami tidak ada masalah apa pun dan tidak ada harapan bagi sang istri untuk sembuh dalam arti tidak ada peluang baginya untuk hamil dan mempunyai anak.

Melihat hasil seperti itu, sang suami mengucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, lalu menyambungnya dengan ucapan: Alhamdulillah.

Sang suami seorang diri memasuki ruang dokter dengan membawa hasil lab dan sama sekali tidak memberitahu istrinya dan membiarkan sang istri menunggu di ruang tunggu perempuan yang terpisah dari kaum laki-laki.

Sang suami berkata kepada sang dokter: “Saya akan panggil istri saya untuk masuk ruangan, akan tetapi, tolong, nanti anda jelaskan kepada istri saya bahwa masalahnya ada di saya, sementara dia tidak ada masalah apa-apa.

Kontan saja sang dokter menolak dan terheran-heran. Akan tetapi sang suami terus memaksa sang dokter, akhirnya sang dokter setuju untuk mengatakan kepada sang istri bahwa masalah tidak datangnya keturunan ada pada sang suami dan bukan ada pada sang istri.

Sang suami memanggil sang istri yang telah lama menunggunya, dan tampak pada wajahnya kesedihan dan kemuraman. Lalu bersama sang istri ia memasuki ruang dokter. Maka sang dokter membuka amplop hasil lab, lalu membaca dan mentelaahnya, dan kemudian ia berkata: “… Oooh, kamu –wahai fulan- yang mandul, sementara istrimu tidak ada masalah, dan tidak ada harapan bagimu untuk sembuh.

Mendengar pengumuman sang dokter, sang suami berkata: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, dan terlihat pada raut wajahnya wajah seseorang yang menyerah kepada qadha dan qadar Allah.

Lalu pasangan suami istri itu pulang ke rumahnya, dan secara perlahan namun pasti, tersebarlah berita tentang rahasia tersebut ke para tetangga, kerabat dan sanak saudara.

Lima 5 tahun berlalu dari peristiwa tersebut dan sepasang suami istri bersabar, sampai akhirnya datanglah detik-detik yang sangat menegangkan, di mana sang istri berkata kepada suaminya: “Wahai fulan, saya telah bersabar selama Sembilan 9 tahun, saya tahan-tahan untuk bersabar dan tidak meminta cerai darimu, dan selama ini semua orang berkata:” betapa baik dan shalihah-nya sang istri itu yang terus setia mendampingi suaminya selama Sembilan tahun, padahal dia tahu kalau dari suaminya, ia tidak akan memperoleh keturunan”. Namun, sekarang rasanya saya sudah tidak bisa bersabar lagi, saya ingin agar engkau segera menceraikan saya, agar saya bisa menikah dengan lelaki lain dan mempunyai keturunan darinya, sehingga saya bisa melihat anak-anakku, menimangnya dan mengasuhnya.

Mendengar emosi sang istri yang memuncak, sang suami berkata: “istriku, ini cobaan dari Allah, kita mesti bersabar, kita mesti …, mesti … dan mesti …”. Singkatnya, bagi sang istri, suaminya malah berceramah di hadapannya.

Akhirnya sang istri berkata: “OK, saya akan tahan kesabaranku satu tahun lagi, ingat, hanya satu tahun, tidak lebih”.

Sang suami setuju, dan dalam dirinya, dipenuhi harapan besar, semoga Allah memberi jalan keluar yang terbaik bagi keduanya.

Beberapa hari kemudian, tiba-tiba sang istri jatuh sakit, dan hasil lab mengatakan bahwa sang istri mengalami gagal ginjal.

Mendengar keterangan tersebut, jatuhnya psikologis sang istri, dan mulailah memuncak emosinya. Ia berkata kepada suaminya: “Semua ini gara-gara kamu, selama ini aku menahan kesabaranku, dan jadilah sekarang aku seperti ini, kenapa selama ini kamu tidak segera menceraikan saya, saya kan ingin punya anak, saya ingin memomong dan menimang bayi, saya kan … saya kan …”.

Sang istri pun bed rest di rumah sakit.

Di saat yang genting itu, tiba-tiba suaminya berkata: “Maaf, saya ada tugas keluar negeri, dan saya berharap semoga engkau baik-baik saja”. “Haah, pergi?”. Kata sang istri. “Ya, saya akan pergi karena tugas dan sekalian mencari donatur ginjal, semoga dapat”. Kata sang suami.

Sehari sebelum operasi, datanglah sang donatur ke tempat pembaringan sang istri. Maka disepakatilah bahwa besok akan dilakukan operasi pemasangan ginjal dari sang donatur.

Saat itu sang istri teringat suaminya yang pergi, ia berkata dalam dirinya: “Suami apa an dia itu, istrinya operasi, eh dia malah pergi meninggalkan diriku terkapar dalam ruang bedah operasi”.

Operasi berhasil dengan sangat baik. Setelah satu pekan, suaminya datang, dan tampaklah pada wajahnya tanda-tanda orang yang kelelahan.

***

Dan subhanallah …
Setelah Sembilan 9 bulan dari operasi itu, sang istri melahirkan anak. Maka bergembiralah suami istri tersebut, keluarga besar dan para tetangga.

Suasana rumah tangga kembali normal, dan sang suami telah menyelesaikan studi S2 dan S3-nya di sebuah fakultas syari’ah dan telah bekerja sebagai seorang panitera di sebuah pengadilan di Jeddah. Ia pun telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an dan mendapatkan sanad dengan riwayat Hafs, dari ‘Ashim.

Pada suatu hari, sang suami ada tugas dinas jauh, dan ia lupa menyimpan buku hariannya dari atas meja, buku harian yang selama ini ia sembunyikan. Dan tanpa sengaja, sang istri mendapatkan buku harian tersebut, membuka-bukanya dan membacanya.

Hampir saja ia terjatuh pingsan saat menemukan rahasia tentang diri dan rumah tangganya. Ia menangis meraung-raung. Setelah agak reda, ia menelpon suaminya, dan menangis sejadi-jadinya, ia berkali-kali mengulang permohonan maaf dari suaminya. Sang suami hanya dapat membalas suara telpon istrinya dengan menangis pula.

Ketahuilah bahwa sang donatur itu tidak ada lain orang melainkan sang suami itu sendiri. Ya, suaminya telah menghibahkan satu ginjalnya untuk istrinya, tanpa sepengetahuan sang istri, tetangga dan siapa pun selain dokter yang dipesannya agar menutup rapat rahasia tersebut.

Dan setelah peristiwa tersebut, selama tiga bulanan, sang istri tidak berani menatap wajah suaminya. Jika ada keperluan, ia berbicara dengan menundukkan mukanya, tidak ada kekuatan untuk memandangnya sama sekali.

(Diterjemahkan dari kisah yang dituturkan oleh teman tokoh cerita ini, yang kemudian ia tulis dalam email dan disebarkan kepada kawan-kawannya) diterjemahkan oleh Ust. Ahmad Sahal,Lc)

dari berbagai sumber
 

ATHA’ BIN ABI RABAH

 "Tiada aku melihat seorangpun yang lebih mengharapkan wajah
Alloh Subhanahu Wata’ala dengan ilmwunya melainkan tiga orang, Atha'.. Thawus...dan Mujahid"
(Salamah bin Kuhail)


Kita berada di sepuluh hari terakhir bulan Dzulhijah tahun 97H. Saat di mana Baituil 'Atiq dibanjiri oleh lautan manusia yang menyahut panggilan Alloh Subhanahu Wata’ala hingga memenuhi seluruh ruas jalan. Ada yang berjalan kaki dan ada yang berkendaraan. Ada yang lanjut usia ada pula yang muda belia, yang laki-laki maupun yang wanita, ada yang putih ada pula yang hitam wama kulitnya, ada orang Arab ada pula orang 'Ajam, ada raja dan ada pula rakyat jelata.

Mereka datang berbondong-bondong menyahut seruan Rajanya manusia dengan penuh khusyuk, tunduk, penuh harap dan saku cita.

Sementara itu, Sulaiman bin Abdul Malik, khalifah kaum musli­min, raja tertinggi di dania sedang berthawaf di Baitul 'Atiq tanpa mengenakan penutup kepala, tanpa alas kaki, tanpa memakai apapun selain sarung dan rida'. Tak ada bedanya antara dirinya dengan rakyat biasa. Beliau seperti layaknya saudara-saudaranya karna Alloh Subhanahu Wata’ala. Di belakangnya turut kedua putranya. Mereka laksana bulan purnama yang terang dan bercahaya, atau bagai sekuntum bunga merekah yang indah dan wangi baunya.

Setelah usai melakukan thawaf, khalifah menghampiri seorang kepercayaannya dan bertanya: 'Di manakah temanmu itu?" Sambil menunjuk ke sudut barat Masjldil Haram dia menjawab: "Di sana, beliau sedang berdiri untuk shalat." Dengan diiringi kedua putranya khalifah bertandang menuju lokasi yang dirnaksud. Para pengawal khalifah bermaksud menyibak kerumunan orang untuk melapangkan jalan bagi khalifah agar tidak berdesak-desakan, namun beliau men­cegahnya sembari berkata: "Ini adalah suatu tempat yang tidak membedakan antara raja dan rakyat jelata….tiada yang lebih utama antara satu dengan yang lain sedikitpun melainkan karena amal dan tak­wanya. Boleh jadi saeorang yang kusut dan berdebu diterima iba­dahnya oleh Alloh Subhanahu Wata’ala dengan penerimaan yang tidak diberikan kepada para raja." Kemudian beliau berjalan menuju laki-laki yang dimaksud, beliau dapatkan ia dalam keadaan shalat, hanyut dalam rukuk dan sujudnya. Sementara orang-orang duduk di belakang, di kanan dan kirinya. Maka duduklah khalifah di penghabisan majlis begitu pula dengan kedua anaknya.

Kedua putra mahkota itu mengamati dengan seksama, seperti apa gerangan laki-laki yang dimaksud oleh amirul mukminin. Hingga beliau berkenan duduk bersama manusia banyak untuk menunggu laki-laki tersebut
menyelaaikan shalatnya.

Ternyata dia adalah seorang tua Habsyi yang berkulit hitam, keriting rambutnya dan pesek hidungnya. Apabila duduk laksana burung gagak yang berwarna hitam.

@@@(((@)))@@@

Seteiah merampungkan shalatnya, syeikh itu menolehkan pan­dangannya ke arah di mana khalifah duduk, maka khalifah Sulaiman bin Abdul Malik segera mengucapkan salam dan orang tua itupun membalasnya dengan yang serupa.

Di sini khalifah menghadap orang tua tersebut dan menggunakan kasempatan itu untuk bertanya tentang manasik haji, rukun demi ru­kunnya, sedangkan orang tua tersebut menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Dia jelaskan dengan rinci dan tidak menolak kasempa­tan bagi yang ingin menambahnya. Dia sandarkan seluruh pendapatnya kepada hadits Rosululloh Solallohu “Alaihi Wasallam.

Setelah merasa cukup dengan pertanyaannya, khalifah mendo'a­kan syeikh tersebut agar mendapatkan balasan yang lebih balk, lalu khalifah berkata kepada kedua putranya: "Berdirilah kalian!" Maka berdirilah keduanya dan merekapun beranjak menuju tempat sa'i.

Di tengah perjalanan sa'i antara Shafa dan Marwah, kedua pemu­da itu mendengar seruan para penyeru "Wahai kaum muslimin….tiada yang berhak berfatwa di tempat ini kecuali Atha' bin Abi Rabah…..jika tidak bertemu dengannya hendaknya menemui Abdullah bin Abi Najih." Seorang dari pemuda itu langsung menoleh kepada ayahnya sembari berkata: "Petugas amirul mukminin menyuruh manusia agar tidak meminta fatwa kepada seorangpun selain Atha' bin Abi Rabah dan temannya, namun mengapa kita tadi justru datang dan meminta fatwa kepada seorang laki-laki yang tidak memberikan prioritas ke­pada khalifah dan tidak pula memberi hak penghormatan khusus ke­padanya?

Sulaiman berkata kepada putranya: "Wahai anakku, pria yang kamu lihat dan engkau melihat kami berlaku hormat di hadapannya tadilah yang bernama Atha' bin Abi Rabah, orang yang berhak ber­fatwa di masjid Al-Haram. Beliau mewarisi ilmu Abdullah bin Abbas dengan bagian yang banyak." Kemudian beliau melanjutkan: "Wahai anakku..carilah ilmu..karena dengan ilmu, rakyat bawahan bisa men­jadi terhormat...para budak bisa melampaui derajat para raja.."


@@@(((@)))@@@
Ungkapan Sulaiman bin Abdul Malik seperti yang beliau katakan kepada putranya tentang keutamaan ilmu tidaklah berlebihan. Atha' bin Abi Rabah sebagai bukti nyata. Masa kecil beliau hanyalah sebagai seoran budak milik seorang wanita penduduk Mekah. Hanya saja Alloh Subhanahu Wata’ala memuliakan budak Habsyah ini sejak dia pancangkan kedua telapak kakinya di atas jalan ilmu. Be liau membagi waktunya menjadi tiga bagian, sebagian untuk majikannya, beliau berkhidmat dengan baik dan menunaikan hak-hak majikannya, sebagian lagi beliau per­gunakan waktunya untuk menyendiri bersama Rabb-nya, beliau teng­gelam dalam peribadatan yang begitu suci dan ikhlas karena Alloh Subhanahu Wata’ala.

Sepertiga lainnya beliau pergunakan untuk berkutat dengan ilmu. Beliau datangi sisa-sisa para sahabat Rosululloh Solallohu “Alaihi Wasallam, yang masih hidup, dan berhasil mereguk ilmu dari sumbernya yang jernih.
Beliau mengambill ilmu dari Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubeir dan sahabat-sahabat lain yang mulia ridhwanullah 'alaihim hingga dadanya penuh dengan ilmu, fikih dan riwayat dari Rosululloh Solallohu “Alaihi Wasallam.

Begitu majikan penduduk Mekah melihat budaknya telah menjual dirinya kepada Alloh Subhanahu Wata’ala ...dan berbakat untuk menuntut ilmu..maka la cabut haknya terhadap Atha', dia merdekakan budaknya demi taqarrub kepada Alloh Subhanahu Wata’ala dengan harapan mudah-mudahan dia dapat memberikan manfaat bagi Islam dan kaum muslimin.

Sejak hari itu Atha' bin Abi Rabah menjadikan Baitul Haram seba­gai tempat tinggalnya, menjadi rumah tetnpat heliau bermalam, seba­gai madrasah bagi beliau memperdalam ilmu, tempat shalat untuk taqarrub kepada Alloh Subhanahu Wata’ala dengan takwa dari ketaatan. Hingga para pakar sejarah berkata: "Masjid tersebut menjadi tempat tidur bagi Atha' bin Abi Rabah selama kuran, lebih 20Tahun.”

@@@(((@)))@@@

Sampailah tabi’in yang agung ini kederajat yang tinggi dalam hal ilmu, puncak keluhuran martabat yang tiada manusia yang mam­pu meraih derajat tersebut melainkan sedikii sekali pada zaman be­liau.

Telah diriwayatkan bahwa Alhdullah bin Umar berkunjung ke Mekah untuk melakukan Umrah. Orang-orang mengerumuni untuk menanyakan persoalan agama dan meminta fatwa kepada beliau, lalu beliau berkata: "Sungguh aku heran kepada kalian wahai penduduk Mekah, mengapa kalian mengerumuni aku untuk bertanya tentang masalah-masalah tersebut padahal di tengah-tengah kalian ada Atha' bin Abi Rabah?!"

@@@(((@)))@@@

Atha' bin Abi Rabah mencapai puncak derajat dalam hal agama dan ilmu karena dua hal:

Pertama, beliau mampu mengendalikan jiwanya sehingga tidak memberikan peluang untuk sibuk dalam urusan yang tidak berguna baginya.

Kedua, beliau mampu mengatur waktunya sehingga tidak mem­buangnya secara sia-sia, seperti mengobrol maupun perbuatan tak berguna lainnya.

Muhammad bin Suuqah menceritakan kepada jama'ah yang me­ngunjungi beliau: "Maukah aku ceritakan kepada kalian sauatu yang mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kalian sebagaimana kami telah mendapatkan manfaat karenanya?" Mereka berkata: "Mau."

Beliau berkata: "Suatu hari Atha' bin Abi Rabah menasihatiku, "Wa­hai putra saudaraku, saungguhnya orang-orang sebelum kita (yakni para sahabat-Pent) tidak menyukai banyak bicara." Lalu aku kata­ "Apa yang dianggap banyak bicara menurut mereka?" beliau -menjawab: "Mereka menganggap bahwa setiap ucapan termasuk ber­lebih-lebihan melainkan dalam rangka membaca Al-Kitab dan me­mahaminya, atau membaca hadits Rosululloh Solallohu “Alaihi Wasallam yang diriwayatkan dan harus diketahui, atau memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar, atau berbicara tentang ilmu yang dengannya menjadi sarana taqarrub kepada Alloh Subhanahu Wata’ala Ta'ala, atau engkau membi­carakan tentang kebutuhan dan pekerjaan yang memang harus dibi­cirakan. "Lalu beliau memperhatikan raut wajahku seraya berkata:
Apakah kalian mengingkari firman Alloh Subhanahu Wata’ala:

وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ (١٠)كِرَامًا كَاتِبِينَ (١١)

"Padahal saungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Alloh Subhanahu Wata’ala) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu)" (AI-Infithar:l0-11)

dan bahwa masing-masing dari kalian disertai oleh dua malaikat:

إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ (١٧)مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ (١٨)

"(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (Qaaf: 17-18)

Kemudian beliau berkata: "Tidakkah salah seorang di antara kita
merasa malu manakala dibukakan lembaran catatan amal yang dikerjakan sepanjang siang, lalu dia mendapatkan di dalamnya sauatu yang tidak ada kaitannya dengan urusan agama maupun kepentingan dunianya?"


@@@(((@)))@@@

Sungguh, Alloh Subhanahu Wata’ala memberikan manfaat kepada banyak orang dengan ilmu Atha' bin Abi Rabah. Di antara mereka ada yang men­jadi ahli ilmu yang handal, ada yang menjadi pengusaha dan lain-­lain.

Imam Abu Hanifah An-Nu'man menceritakan pengalaman beliau: "Aku pernah melakukan lima kasalahan ketika melakukan manasik di Mekah, lalu seorang tukang cukur mengajariku. Peristiwa tersebut ter­jadi manakala aku bermaksud mencukur rambut karena hendak me­nyudahi ihram, maka aku mendatangi seorang tukang cukur, lalu aku bertanya: "Berapa upah yang harus aku bayar untuk mencukur ram­but kepala?" Tukang cukur itu menjawab: "Semoga Alloh Subhanahu Wata’ala memberikan hidayah kepada Anda, ibadah tidak mempersaratkan itu, duduklah dan posisikan kepala sauka Anda." Akupun merasa grogi dan duduk. Hanya saja ketika itu aku duduk membelakangi kiblat, maka tukang cukur tersebut mengisyaratkan agar aku menghadap kiblat dan aku­pun menuruti kata-katanya. Yang demikian itu semakin membuat aku salah tingkah. Lalu saya serahkan kepala bagian kiri untuk dipangkas rambutnya, namun tukang cukur itu berkata: "Berikan bagian kanan." Lalu akupun menyerahkan bagian kanan kepalaku.
"Tukang cukur itu mulai memangkas rambutku sementara aku ha­nya diam memperhatikannya dengan takjub. Melihat sikapku, tukang cukur itu berkata: "Mengapa Anda diam saja? Bertakbirlah!" Lalu aku­pun takbir hingga aku beranjak untuk pergi. Untuk kaekian kalinya tukang cukur itu menegurku: "Hendak kemanakah Anda?"Aku kata­kan: "Aku hendak pergi menuju kendaraanku." Tukang cukur itu ber­kata: "Shalatlah dua rekaat dahulu baru kemudian silakan pergi sauka Anda." Akupun shalat dua rekaat, lalu aku berkata pada diriku sendiri: "Tidak mungkin seorang tukang cukur bisa berbuat seperti ini melainkan pasti dia memiliki ilmu." Kemudian aku bertanya kepadanya: "Dari manakah Anda mendapatkan tata cara manasik yang telah Anda ajarkan kepadaku tadi?" Orang itu menjawab: "Aku melihat Atha' Bin Abi Rabah mengerjakan seperti itu lalu aku mengambilnya dan memberikan pengarahan kepada manusia dengannya."


@@@(((@)))@@@

Sungguh, gemerlapnya dunia telah merayu Atha' bin Abi Rabah, namun beliau berpaling dan menampiknya dengan serius. Sepanjang hayat beliau hanya mengenakan baju yang harganya tidak lebih dari 5 dirham saja.

Para khalifah telah meminta kesediaan beliau untuk menjadi pen­damping mereka, namun beliau tidak mengabulkannya. Karena beliau takut agamanya ternoda oleh dunianya. Namun demikian, terkadang beliau mengunjungi khalifah jika beliau merasa hal itu dapat mendatangkan manfaat bagi kaum muslimin maupun kebaikan bagi Islam.

Seperti dalam peristiwa yang dikisahkan oleh Utsman bin Atha' Al-Khurasani:

"Aku pergi bersama ayah untuk menghadap Hisyam bin Abdul Malik, Tatkala perjalanan kami telah dekat dengan Damsyik, tiba-tiba kami bertemu dengan orang tua yang menunggangi himar hitam, mengenakan baju lusuh dan jubbah yang telah usang, penutup kepala vang kusut melekat pula di kepalanya. Pelana yang dipakainya terbuat dari kayu murahan, aku tertawa geli karenanya. Lalu aku bertanya kepada ayah: "Siapakah orang ini?' Ayah berkata: "Diam kamu, ia adalah penghulu para ahli fikih di Hijaz Atha' bin Abi Rabah." Ketika telah dekat jarak kami dengannya, ayah bergegas turun dari bighalnya sedangkan Atha' turun dari himarnva. Keduanya saling berpelukan dan saling menanyakan kabarnya, kemudian keduanya kembali dan menaiki kendaraannya. Mereka berjalan hingga berhenti di depan pintu istana Hisyam bin Abdul Malik. Keduanya diminta duduk menunggu hingga mendapatkan ijin untuk masuk.

Setelah ayah keluar aku bertanya kepadanya: "Ceritakanlah apa yang Anda lakukan berdua di dalam istana?" Beliau berkata: "Tatkala Hisyam mengetahui bahwa Atha' bin Abi Rabah berada di depan pintu, maka beliau bersegera menyambut dan mempersilahkan kami untuk masuk. Demi Alloh Subhanahu Wata’ala saya tidak akan bisa masuk melainkan karena
bersama Atha'. Demi melihat Atha' Hisyam berkata: "Marhaban! Marhaban! silakan.silakan..beliau terus menyambut: "Silakan ..silakan..!" hingga Hisyam mendudukkan Atha' di atas kasurnya dan menempel­kan lututnya ke lutut Atha'. Ketika itu majlis dihadiri oleh para bang­sawan, tadinya mereka bercakap-cakap namun seketil.a mereka men­jadi diam.

Kemudian Hisyam menghadap Atha' dan terjadilah dialog antara keduanya:
Hisyam :"Apa keperluan Anda wahai Abu Muhammad?"

Atha' :"Wahai amirul mukminin, penduduk Haramain, keluarga Alloh Subhanahu Wata’ala dan tetangga Rosululloh Solallohu “Alaihi Wasallam, hendaknva mendapatkan pem­bagian rezki dan pemberian."

Hisyam :'Baik...wahai penulis, tulis bagi penduduk Mekah dan Madinah untuk menerima bantuan selama satu tahun." (Lalu Hisyam bertanya lagi kepada Atha') "Masih adakah keperluan yang lain wahai Abu Muhammad?"

Atha' :"Benar, wahai amirul mukminin, penduduk Hijaz dan pen­duduk Najd, asal mula Arab dan tempat para pemimpin Islam, janganlah diambil kelebihan sedekah mereka.."

Hisyam :"Balk ...! wahai penulis, tulis agar kita menolak penyerahan kelebihan sedekah mereka." Masih adakah keperluan yang lain wahai Abu Muhammad?"

Atha' : "Benar wahai amirul mukminin, ahluts tsugur (yang ribath fii sabililah diperbatasan) mereka berdiri menjaga dari musuh, mereka membunuh siapapun yang menimpakan keburukan kepada kaum muslimin, hendaknya dikirim rezki kepada mereka. Karena jika mereka terbunuh niscaya akan lenyaplah perbatasan."

Hisyam :'Baiklah...! wahai penulis, tulislah agar kita mengirim ma­kanan kepada mereka." Masih adakah keperluan lainnya wahai Abu Muhammad?"
Atha' : "Benar wahai amirul mukminin, ahli dzimmah, janganlah dibebani dengan apa-apa yang tidak mereka mampui, karena ke­tundukan mereka adalah kekuatan bagi kalian untuk menga­lahkan musuh kalian."

Hisvam :(Berkata kepada penulisnya) "Wahai penulis, tulislah bagi ahli dzimmah agar mereka tidak dibebani dengan apa-apa yang tidak mereka mampui." Masih adakah keperluan yang lain wahai Abu Muhammad?"

Atha' :"Benar..bertakwalah kepada Alloh Subhanahu Wata’ala atas dirimu wahai amirul mukminin, ketahuilah bahwa engkau diciptakan seorang diri, engkaupun akan mati seorang diri, dikumpulkan di makhsyar seorang diri, dihisab seorang diri, dan demi Alloh Subhanahu Wata’ala engkau tidak melihat siapapun..!"

Hisyam menundukkan kepalanva sambil menangis, lalu berdirilah Atha' dan akupun berdiri bersama beliau. Namun, ketika kami me­lewati pintu tiba-tiba ada saeorang membuntuti beliau sambil mem­bawa sebuah bejana yang aku tidak mengetahui apa isinya sembari mengatakan: "Saungguhnya amirul mukminin menyuruhku untuk menyerahkan ini kepada Anda!" Atha' menjawab: "Tidak!. Lalu beliau membaca ayat:

وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ (١٠٩)

“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; Upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” (Asy­Syu'ara: 109)

Demi Alloh Subhanahu Wata’ala, beliau masuk ke istana khalifah dan keluar dan sisinya sementara beliau sama sekali tidak minum seteguk airpun.


@@@(((@)))@@@

Pada gilirannya, Atha' bin Abi Rabah dikaruniai umur panjang
hingga mencapai 100 tahun, beliau penuhi umurnya dengan ilmu dan amal, beliau isi dengan kebaikan dan takwa, beliau sucikan diri­ dengan zuhud terhadap apa yang dimiliki manusia, dan meng­harap apa yang ada di sisi Alloh Subhanahu Wata’ala.

Begitu ajal menjemput, alangkah ringan beban dunia yang di punya. Karena kebanyakan bekalnya adalah amal untuk akhirat. la bawa pahala 70 kali haji dan 70 kali wukuf di Arafah. Beliau memohon kepada Alloh Subhanahu Wata’ala Ta'ala keridhaan dan jannah-Nya dan memohon per­lindungan kepada-Nya dari kemurkaan-Nya dan siksa neraka. (*)

(*) untuk menambah keterangan tentang biografi Atha' bin Abi Rabah bisa dilihat:

Disalin dari :
SHUWAR MIN HAYATIT TABI’IN
KARYA :
Dr. ABDURRAHMAN RA’FAT BASYA

TERBITAN AT-TIBYAN SOLO
DENGAN
JUDUL JEJAK PARA TABI’IEN

DISALIN ULANG OLEH

ABU AMMAR

nantikan kisah berikutnya. Insya Alloh

 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. abu-uswah - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger