1. Membenarkan kabar yang disampaikan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu 'alihi wa sallamDiantara
 keimanan yang sangat urgen adalah meyakini bahwa Nabi shallallahu 
'alihi wa sallam ma’sum (terjaga) dari kedustaan dan kebohongan, yang 
konsekuensi dari hari hal ini adalah pembenaran kepada semua yang 
dikabarkan oleh Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, baik khabar berita 
tentang masa silam, masa sekarang, ataupun berita di masa mendatang. 
Allah berfirman;
﴿وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَىمَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى﴾ (لنجم:1-4)
Demi
 bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak 
keliru, Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa 
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan 
(kepadanya). (QS. 53:1-4)
﴿وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ 
وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ 
شَدِيدُ الْعِقَابِ﴾ (الحشر: من الآية7)
Apa yang datang dari Rasul
 kepada kalian maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka 
tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat 
keras hukuman-Nya. (QS. 59:7)
Lihatlah kepada derajat yang sangat
 tinggi yang diraih oleh Abu Bakar As-Siddiq yang beriman kepada Nabi 
shallallahu 'alihi wa sallam dengan keimanan yang sesungguhnya.Ia 
membenarkan seluruh perkataan dengan tanpa keraguan sedikitpun.
 
عن عائشة رضي الله عنها قالت ثم لما  
أسري  بالنبي  صلى الله عليه وسلم إلى المسجد الأقصى أصبح يتحدث الناس بذلك
 فارتد ناس ممن كان آمنوا به وصدقوه وسعى رجال من المشركين إلى أبي بكر رضي
 الله عنه فقالوا هل لك إلى صاحبك يزعم أنه   أسري  به الليلة إلى بيت 
المقدس قال أو قال ذلك قالوا نعم قال لئن قال ذلك لقد صدق قالوا أو تصدقه 
أنه ذهب الليلة إلى بيت المقدس وجاء قبل أن   يصبح  فقال نعم إني لأصدقه ما
 هو أبعد من ذلك أصدقه في خبر السماء في غدوة أو روحة فلذلك سمي أبا بكر 
الصديق رضي الله عنه
Dari ‘Aisyah, beliau berkata, “Tatkala Nabi 
shallallahu 'alihi wa sallam isro’ (dijalankan oleh Allah) menuju ke 
Masjdil Aqsho, maka dipagi harinya orang-orang membicarakan hal itu. 
Orang-orang yang tadinya beriman kepada Nabi shallallahu 'alihi wa 
sallam dan membenarkannya murtad (keluar dari Islam). Beberapa orang 
dari kaum musyrikin menemui Abu Bakar dan berkata kepadanya, “Tidakkah 
engkau menemui sahabatmu (yaitu Rasulullah), dia menyangka bahwa dirinya
 tadi malam dijalankan ke Baitul Maqdis (Masjidil Aqsho)?”. Abu Bakar 
berkata, “Apakah dia mengatakan demikian?”, mereka berkata, “Iya”. Abu 
Bakar berkata, “Jika ia memang mengatakan demikian maka dia telah 
jujur!”. Mereka berkata, “Apakah engkau membenarkan perkataannya bahwa 
dia tadi malam pergi ke Baitul Maqdis kemudian tiba kembali (ke Mekah) 
sebelum subuh?”, Abu Bakar berkata, “Iya, (bahkan) saya membenarkannya 
pada perkara yang lebih (aneh) dari pada perkara ini. Saya 
membenarkannya tentang berita yang ia terima dari langit di pagi hari 
atau di sore hari”. Oleh karena itu Abu Bakar dinamakan As-Siddhiq (yang
 selalu membenarkan)”[1]
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال صلى رسول 
الله  صلى الله عليه وسلم  صلاة الصبح ثم أقبل على الناس فقال بينا رجل 
يسوق   بقرة  إذ ركبها فضربها فقالت إنا لم نخلق لهذا إنما خلقنا للحرث 
فقال الناس سبحان الله   بقرة  تكلم فقال فإني أومن بهذا أنا وأبو بكر وعمر
 وما هما ثم وبينما رجل في غنمه إذ عدا   الذئب  فذهب منها بشاة فطلب حتى 
كأنه استنقذها منه فقال له   الذئب  هذا استنقذتها مني فمن لها يوم 
السَّبُعِ يوم لا راعيَ لها غيري فقال الناس سبحان الله ذئب يتكلم قال فإني
 أومن بهذا أنا وأبو بكر وعمر وما هما ثَمَّ
 Dari Abu Hurairoh 
berkata, “Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam sholat subuh kemudian 
beliau menghadap para jemaah sholat lalu berkata, “Tatkala seseorang 
menggembala seekor sapi, kemudian diapun menunggangi sapi tersebut dan 
memukul sapi tersebut. Sapi itupun berkata, “Sesungguhnya aku tidaklah 
diciptakan untuk ini (untuk ditunggangi), namun aku hanyalah diciptakan 
untuk membajak.” Orang-orangpun berkata, “Maha suci Allah, sapi 
berbicara??”. Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata, 
“Sesungguhnya aku beriman terhadap hal ini, demikian juga Abu Bakar dan 
Umar beriman.” Berkata Abu Hurairah, “Dan tatkala itu Abu Bakar dan Umar
 sedang tidak ada (tidak bersama mereka sholat subuh-pen)”. Rasulullah 
shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Dan tatkala seorang penggembala 
sedang menggembalakan kambing-kambingnya tiba-tiba datang serigala dan 
membawa lari seekor kambingnya. Maka sang penggembalapun mengejar 
serigala tersebut dan sepertinya dia berhasil membebaskan kambing 
tersebut dari cengkraman serigala. Sang serigala tersebut berkata kepada
 sipenggembala, “Engkau telah membebaskan kambing itu dariku, maka 
siapakah yang akan menunggui (memperhatikan) kambing ini selain aku pada
 hari dimana singa datang mengambil kambing ini?[2]” Orang-orangpun 
berkata, “Maha suci Allah, serigala berbicara?”, Nabi shallallahu 'alihi
 wa sallam berkata, “Sesungguhnya aku beriman terhadap hal ini, demikian
 juga Abu Bakar dan Umar beriman”. Berkata Abu Hurairah, “Tatkala itu 
Abu Bakar dan Umar sedang tidak hadir”[3]
Berkata Ibnu Hajar, 
“Kemungkinan Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam mengatakan demikian
 (padahal Abu Bakar dan Umar tatkala itu tidak hadir-pen) karena 
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam tahu akan besarnya keimanan 
mereka berdua dan kuatnya keyakinan mereka”[4]. Beliau juga berkata, 
“…Dan kemungkinan juga beliau berkata demikian karena mereka berdua akan
 membenarkan khabar tersebut jika mereka mendengarnya dengan tanpa 
keraguan”[5]
Coba seandainya kita sampaikan hadits ini kepada 
orang-orang yang mengagungkan akal mereka, tentu kita akan dapati banyak
 diantara mereka yang menolak hadits ini. Mungkin diantara mereka akan 
ada yang berkata “Bagaimana hewan bisa berbicara?, mana akalnya?”, 
ataupun diantara mereka ada yang mengatakan “Hadits ini lemah karena 
tidak masuk akal, meskipun dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari!!.”[6]
Padahal
 Allah mampu untuk melakukan semuanya, jangankan hewan yang masih 
memiliki otak dan lisan bahkan tangan dan kakipun serta kulit yang tidak
 berotak dan tidak berlisan akan berbicara pada hari kiamat sebagaimana 
firman Allah:
﴿الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ﴾ (يّـس:65)
“Pada
 hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan 
mereka dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka
 usahakan.” (QS. 36:65)
﴿وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ 
عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللَّهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ 
وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ﴾ (فصلت:21)
 Dan mereka berkata kepada kulit mereka:"Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami"
 Kulit mereka menjawab:"Allah yang telah menjadikan segala sesuatu 
pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah 
yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nyalah 
kamu dikembalikan". (QS. 41:21)
Apakah mereka menolak ayat-ayat ini karena menurut mereka tidak masuk akal??
Berkata
 Ibnul Qoyyim, “Maka adab yang paling tertinggi terhadap Rasulullah 
shallallahu 'alihi wa sallam adalah pasrah menerima apa yang datang dari
 Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, mematuhi dan menjalankan 
perintahnya, menerima dan membenarkan berita yang datang dari 
Nabi shallallahu 'alihi wa sallam tanpa mempertentangkannya dengan 
khayalan yang batil yang dinamakan “masuk akal” atau menolaknya karena 
syubhat atau ragu atau mendahulukan pendapat orang-orang dan 
kotoran-kotoran otak mereka diatas berita yang datang dari Nabi 
shallallahu 'alihi wa sallam…”[7]
Di zaman sekarang ini 
banyak orang yang menolak hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam
 dengan alasan bertentangan dengan akal. Apakah mereka lupa bahwa Nabi 
shallallahu 'alihi wa sallam tidaklah berbicara kecuali dengan bimbingan
 Allah?? Apakah akal mereka yang lemah itu hendak mereka gunakan untuk 
menimbang kebenaran berita yang datang dari Nabi shallallahu 'alihi wa 
sallam??.
Penolakan terhadap hadits-hadits Nabi shallallahu 
'alihi wa sallam semakin banyak jika hadits-hadits tersebut berkaitan 
dengan perkara-perkara goib. Mereka yang menentang hadits-hadits Nabi 
tersebut mengukur kebenaran hadits Nabi shallallahu 'alihi wa sallam 
dengan akal mereka yang lemah. Mereka mengqiaskan (mengukur) perkara 
yang ghoib dengan hal-hal yang mereka lihat di alam nyata. Tentunya ini 
adalah kesalahan yang sangat fatal karena akal yang sehatpun tidak 
menerima bahwa alam ghaib disamakan dengan alam nyata. Inilah yang telah
 menimpa para pendahulu mereka dari kalangan orang-orang musyrik yang 
menolak dengan akal mereka berita isro’nya Nabi shallallahu 'alihi wa 
sallam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsho dalam satu malam. 
Demikianlah syaitan senantiasa menggelincirkan umat ini dari jalan 
kebenaran.
Lihatlah perkataan Umar bin Al-Khottob yang telah 
dijamin masuk surga, yang syaitan tidak berani bertemu dengannya, yang 
telah diberi oleh Allah kecerdasan dan ilmu yang tinggi, lihatlah 
perkataan beliau:
قال يا أيها الناس اتهموا الرأي على الدين فلقد 
رأيتني أرد أمر رسول الله  صلى الله عليه وسلم  برأيي اجتهادا فوالله ما 
آلو عن الحق وذلك يوم أبي جندل والكتاب بين رسول الله  صلى الله عليه وسلم 
 وأهل مكة فقال اكتبوا بسم الله الرحمن الرحيم فقالوا ترانا قد صدقناك بما 
تقول ولكنك تكتب باسمك اللهم فرضي رسول الله  صلى الله عليه وسلم  وأبيت 
حتى قال لي رسول الله  صلى الله عليه وسلم  تراني أرضى وتأبى أنت قال فرضيت
“Wahai
 manusia sekalian, curigailah pemikiran kalian dalam permasalahan 
agama[8]. Sungguh aku telah membantah perintah Rasulullah shallallahu 
'alihi wa sallam dengan pendapatku (pemikiranku) karena aku berijtihad. 
Demi Allah aku bersungguh-sungguh (berijtihad dengan pemikiranku itu) 
untuk menuju kepada kebenaran. Hal itu terjadi pada waktu kejadian Abu 
Jandal[9], tatkala buku di antara Rasulullah shallallahu 'alihi wa 
sallam dan penduduk Mekah (yaitu orang-orang musyrik), lalu Rasulullah 
shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Tulislah 
Bismillahirrohmanirrahim!”, mereka berkata, “Apakah engkau mengira kami 
telah membenarkan engkau (adalah utusan Allah)?, tapi engkau tulis saja 
“Bismikallahumma”. Lalu Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam rela 
dengan hal itu, adapun aku tidak setuju, hingga Rasulullah shallallahu 
'alihi wa sallam berkata kepadaku “Engkau melihat aku telah ridha 
(setuju) lantas engkau enggan?”. Umar berkata, “Maka akupun rela”[10]
Ungkapan seperti ini juga diucapkan oleh para sahabat yang lain, diantaranya Sahl bin Hunaif, beliau berkata:
أيها
 الناس اتهموا أنفسكم فإنا كنا مع رسول الله  صلى الله عليه وسلم  يوم 
الحديبية ولو نرى قتالا لقاتلنا فجاء عمر بن الخطاب فقال يا رسول الله 
ألسنا على الحق وهم على الباطل فقال بلى فقال أليس قتلانا في الجنة وقتلاهم
 في النار قال بلى قال فعلام نعطي الدنية في ديننا أنرجع ولما يحكم الله 
بيننا وبينهم فقال يا بن الخطاب إني رسول الله ولن يضيعني الله أبدا فانطلق
 عمر إلى أبي بكر فقال له مثل ما قال للنبي  صلى الله عليه وسلم  فقال إنه 
رسول الله ولن يضيعه الله أبدا فنزلت سورة الفتح فقرأها رسول الله  صلى 
الله عليه وسلم  على عمر إلى آخرها فقال عمر يا رسول الله أو فتح هو قال 
نعم
“Wahai manusia sekalian, curigailah diri kalian,
 sesungguhnya kami bersama Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam pada 
waktu terjadi perjanjian Hudaibiyah[11] dan jika menurut kami adalah 
berperang maka kami akan berperang. Lalu datanglah Umar bin Al-Khottob 
dan berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah kita berada di atas kebenaran 
dan mereka berada di atas kebatilan?”, Rasulullah shallallahu 'alihi wa 
sallam menjawab, “Tentu saja”. Umar berkata, “Bukankah orang-orang yang 
terbunuh diantara kita (jika kita memerangi mereka) masuk surga dan 
orang-orang yang terbunuh dari mereka masuk neraka?”, Rasulullah 
shallallahu 'alihi wa sallam menjawab, “Tentu saja”. Umar berkata, “Jika
 demikian, lantas mengapa kita bersikap merendah pada agama kita?, 
apakah kita kembali ke Madinah padahal Allah belum memutuskan perkara 
antara kita dengan mereka?”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, 
“Wahai Ibnul Khottob, sesungguhnya aku adalah utusan Allah, dan Allah 
tidak akan menyia-nyiakan aku selamanya”. Lalu Umar pergi ke Abu Bakar 
dan ia berkata kepadanya apa yang telah dikatakannya kepada Nabi 
shallallahu 'alihi wa sallam, Abu Bakarpun berkata kepaanya, 
“Sesungguhnya ia adalah utusan Allah dan Allah tidak akan 
menyia-nyiakannya selamanya”. Lalu turunlah surat Al-Fath dan Rasulullah
 shallallahu 'alihi wa sallam membacakannya kepada Umar hingga akhir 
surat, lalu berkata Umar, “Wahai Rasulullah, apa itu adalah Al-Fath 
(kemenangan kita di Mekah kelak)?”, Nabi shallallahu 'alihi wa sallam 
menjawab, “Iya”[12]
Ali bin Abi Tholib berkata,
لو كان الدين بالرأي لكان أسفل الخف أولى بالمسح من أعلاه وقد رأيت رسول الله  صلى الله عليه وسلم  يمسح على ظاهر خفيه
“Jika
 seandainya agama itu (hanya sekedar) bersandar dengan akal maka bagian 
bawah khuf lebih utama untuk diusap (tatkala wudlu-pen) daripada bagian 
atas khuf. Sungguh aku telah melihat Rasulullah shallallahu 'alihi wa 
sallam mengusap bagian atas kedua khufnya”[13]
Sungguh indah perkataan Ibnu Taimiyah[14],
فيا
 ليت شعرى بأي عقل يوزن الكتاب والسنة فرضى الله عن الإمام مالك بن أنس حيث
 قال أو كلما جاءنا رجل أجدل من رجل تركنا ما جاء به جبريل الى محمد لجدل 
هؤلاء
“Seandainya saya tahu dengan dengan akal siapakah hendak 
ditimbang Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam?, 
Semoga Allah meridhai Imam Malik bin Anas tatkala beliau berkata, 
“Apakah setiap datang orang yang lebih pandai bedebat daripada orang 
yang lain lantas kita tinggalkan apa yang diturunkan Jibril kepada Nabi 
Muhammad shallallahu 'alihi wa sallam karena kepandaian debat 
mereka??”[15]
 
2. Mengagungkan hadits-hadits Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan tidak menentangnya dengan pendapat sendiri
Diantara
 bukti yang paling kuat yang menunjukkan kecintaan seseorang kepada Nabi
 shallallahu 'alihi wa sallam yaitu pengagungan terhadap sabda-sabda dan
 wejangan-wejangan beliau dan tidak menentang keputusan Nabi shallallahu
 'alihi wa sallam. Inilah yang telah direalisasikan oleh para sahabat 
dan para imam kaum muslimin sepeninggal para sahabat.
Allah berfirman:
﴿وَمَا
 كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ 
أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ 
اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً﴾ (الأحزاب:36)
Dan
 tidakkah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi 
perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetappkan 
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
 mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka 
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. 33:36)
﴿لَقَدْ
 كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو
 اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً﴾ (الأحزاب:21)
Sesungguhnya
 telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu 
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari 
kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. 33:21)
 ﴿وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلاغُ الْمُبِينُ﴾ (النور: من الآية54)
“Dan
 jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.Dan tiada lain
 kewajiban rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (QS 
24:54)
﴿فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ 
تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴾ (النور: من 
الآية63)
maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. 24:63)
﴿أَلَمْ
 يَعْلَمُوا أَنَّهُ مَنْ يُحَادِدِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَأَنَّ لَهُ 
نَارَ جَهَنَّمَ خَالِداً فِيهَا ذَلِكَ الْخِزْيُ الْعَظِيمُ﴾ (التوبة:63)
Tidakkah
 mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasannya barangsiapa 
menentang Allah dan Rasuil-Nya, maka sesungguhnya neraka Jahannamlah 
baginya, dia kekal di dalamnya. Itulah adalah kehinaan yang besar. (QS. 
9:63)
Berkata Al-Humaidi, “Kami sedang bersama Imam Asy-Syafi’i, 
lalu datanglah seseorang dan bertanya tentang suatu permasalahan. Maka 
As-Syafi’i berkata, “Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam telah 
memutuskan permasalahan ini dengan hukum demikian dan demikian”. Orang 
itu berkata kepada Imam As-Syafi’i, “Bagaimana menurut pendapat Anda?”, 
maka Imam As-Syafii berkata,
سبحان الله!! تراني في كنيسة؟! تراني في بيعة؟! ترى على وسطي زُنَّارًا؟! أقول لك قضى فيها رسول الله وأنت تقول: ما تقول أنت؟!  
“Maha
 suci Allah, apakah engkau sedang melihatku di gereja?!, apakah engkau 
sedang melihatku di tempat ibadah orang-orang yahudi?!, apakah engkau 
melihat di pinggangku ada zunnar (yaitu sabuk yang dipakai oleh 
orang-orang Nasrani)?!. Aku katakan kepadamu bahwa Rasulullah 
shallallahu 'alihi wa sallam memutuskan perkara ini dengan hukuman 
demikian dan demikian lantas engkau berkata “Bagaimana menurut 
pendapatmu?”?![16]
عَنْ عَبْدِ الله بْنِ مُغَفَّلٍ : نَهَى 
النَّبِيُّ عَنِ الْخَذْفِ وَقَال((إِنَّهَا لاَتَصْطَادُ صَيْدًا وَلاَ 
تَنْكَأُ عَدُوًا وَلَكِنَّهَا تَفْقَأُ الْعَيْنَ وَتَكْسِرُ السِّنَّ)) 
فَقَالَ رَجُلٌ : وَمَا بَأْسُ هَذَا؟ فَقَالَ : إِنِّي أُحَدِّثُكَ عَنْ 
رَسُوْلِ اللهِ وَتَقُوْلَ هَذَا؟ وَاللهِ لاَأُكَلِّمُكَ أَبَدًا
Dari
 Abdullah bin Mugoffal bahwasanya Nabi shallallahu 'alihi wa sallam 
melarang khadzf (mengutik dengan kerikil tatkala berburu untuk melukai 
hewan buruan-pen) dan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam bersabda, 
“Sesungguhnya khadzf (kutikan) itu tidaklah menghasilkan hewan buruan, 
juga tidak mematikan musuh, namun hanya membutakan mata dan mematahkan 
gigi”. Orang itupun berkata kepada Abdullah, “Memangnya kenapa dengan 
khadzf?”, maka Abdullah berkata, “Saya menyampaikan kepada engkau hadits
 Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam lalu engkau berkata demikian?, 
demi Allah saya tidak akan berbicara denganmu selamanya!”.[17]
Imam
 An Nawawi berkata, “Hadits ini menunjukan pemboikotan terhadap ahlul 
bid’ah dan pelaku kefasikan dan penentang sunnah setelah dijelaskan 
kepadanya, dan boleh memboikotnya secara terus menerus. Adapun larangan 
dari memboikot seorang muslim lebih dari tiga hari hanyalah berlaku pada
 orang yang bersalah karena kepentingan pribadi atau karena persoalan 
kehidupan dunia. Adapun para ahlul bid’ah dan semisal mereka maka 
pemboikotan terhadap mereka dilakukan secara terus menerus.[18] Padahal 
disebutkan dalam riwayat Muslim bahwa pria yang diboikot oleh Abdullah 
tersebut merupakan kerabat keluarga beliau.
Berkata Ibnu Hajar, 
“Hadits ini menunjukan akan bolehnya memboikot orang yang menyelisihi 
sunnah meninggalkan berbicara dengannya, dan hal ini tidak termasuk 
dalam larangan dari memboikot (saudara sesama muslim) lebih dari tiga 
hari, karena larangan tersebut hanyalah jika berkaitan dengan 
pemboikotan karena perkara pribadi”[19]
Dari Salim bin Abdillah, bahwasanya Abdullah bin Umar berkata:
سَمِعْتُ
 رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : ((لاَتَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ 
إِذَا اسْتَأَنَّكُمْ إِلَيْهَا)). فَقَالَ بِلاَلُ بْنِ عَبْدِ الله : 
وَاللهِ لَنَمْنَعُهُنَّ.
فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ عَبْدِ الله 
فَسَبَّهُ سَبًّا شَدِيْدًا مَا سَمِعْتُهُ سَبَّهُ مِثْلَهُ قَطٌ, وَقَالَ
 : أُخْبِرُكَ عَنْ رَسُلِ اللهِ وَتَقُوْلُ : وَاللهِ لَنَمْنَعُهُنَّ
Saya
 mendengar Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda, “Janganlah 
kalian melarang wanita-wanita kalian pergi ke mesjid-mesjid jika mereka 
telah meminta idzin kepada kalian” Lalu berkatalah Bilal bin Abdullah 
bin Umar (yaitu putra Abdullah bin Umar-pen), “Demi Allah kami akan 
melarang mereka (ke mesjid)”. Maka Abdullah bin Umarpun menghadap 
kepadanya lalu mencelanya dengan celaan yang sangat keras yang saya sama
 sekali tidak pernah mendengar ia mencela seperti itu, lalu berkata, 
“Saya mengabarkan kepadamu hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa 
sallam lantas engkau berkata “Demi Allah kami akan melarang 
mereka”??”[20] Dalam satu riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Muslim 
فَضَرَبَ فِيْ صَدْرِهِ “Maka Abdullahpun memukul dadanya”
Imam 
Nawawi berkata, “Hadits ini menunjukan hukuman terhadap orang yang 
protes terhadap sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan yang 
membantah sunnah dengan pemikirannya. Hadits ini juga menunjukan 
(bolehnya) hukuman seorang bapak kepada anaknya walaupun sang anak telah
 dewasa”[21]
Berkata Ibnu Hajar[22], “Tidaklah Abdullah 
mengingkari putranya Bilal dengan pengingkaran yang sangat keras karena 
Bilal secara langsung menyelisihi hadits, namun kalau seandainya Bilal 
berkata misalnya “Sesungguhnya zaman sudah berubah, dan sebagian wanita 
terkadang nampak dari mereka keinginan pergi ke mesjid namun ternyata 
mereka punya maksud yang lain” maka yang nampak Abdullah bin Umar tidak 
akan mengingkarinya (sedemikian rupa) sebagaimana yang diisyaratkan oleh
 Aisyah[23]”
Beliau juga berkata, “Dan diambil (faedah) dari 
pengingkaran Abdullah kepada putranya yaitu pemberian hukuman dan 
pelajaran kepada orang yang menentang sunnah Nabi dengan berlandaskan 
pikirannya dan kepada orang alim namun mengikuti hawa nafsunya, dan 
bolehnya seorang bapak memberi hukuman dan pelajaran kepada anaknya 
walaupun sang anak telah besar dan dewasa jika ia mengucapkan suatu 
perkataan yang tidak pantas, serta bolehnya memberi hukuman dengan 
menghajr (memutuskan hubungan). Telah datang riwayat dari jalan Ibnu Abi
 Najiih dari Mujahid pada Musnad Imam Ahmad فَمَا كَلَّمَهُ عَبْدُاللهِ 
حَتَى مَاتَ (Maka Abdullah bin Umar tidak pernah berbicara kepada 
anaknya (Bilal) hingga wafat)[24]. Jika riwayat ini shahih maka ada 
kemungkinan bahwa salah satu dari keduanya tidak lama kemudian meninggal
 setelah terjadinya kisah ini.”[25]
عن عطاء بن يسار : أن رجلا باع
 كِسرة من ذهب أو ورق بأكثر من وزنها، فقال له أبو درداء : سمعت رسول الله 
يقول: ((يُنْهَى عَنْ مِثْلِ هَذَا إِلاَّ مَثَلا بِمَثَلٍ)). فقال الرجل: 
ما أرى بمثل هذا بأسًا. فقال أبو درداء :  من يعذرني من فلان؟، أحدثه عن 
رسول الله ويخبرني عن رأيه، لا أساكنه بأرض أنت بها
Dari ‘Ato bin 
Yasar, ada seseorang yang menjual sepotong (sebongkah) emas atau perak 
dengan harga yang lebih berat dari berat bongkahan tersebut. Maka Abu 
Darda’pun berkata kepadanya, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu 
'alihi wa sallam berkata ((Dilarang dari yang seperti ini kecuali sama 
beratnya )antara emas atau perak yang di jual (di tukar) dengan perak 
atau emas yang di jadikan sebagai pembayar)). Orang tersebut berkata, 
“Menurut saya tidak mengapa”. Maka Abu Darda’pun berkata kepadanya, 
“Siapa yang menghalangiku dari orang ini?, aku sampaikan kepadanya 
hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam lantas dia menyampaikan 
kepadaku pendapatnya (yang menentang hadits). Saya tidak akan tinggal di
 tempat yang kamu berada di situ”[26]
عن الأعرج قال : سمعت أبا 
سعيد الخدري يقول لرجل: أتسمعني أحدث عن رسول الله أنه قال: ((لاَ 
تَبِيْعُوْا الدِّيْنَارَ بِالدِّيْنَارِ وَالدِّرْهَمَ بِالدِّرْهَمِ 
إِلاَّ مَثَلا بِمَثَلٍ، وَ لاَ تَبِيْعُوْا مِنْهَا عَاجِلاَ بِآجِلٍ)) ثم
 أنت تفتي بما تفتي؟، والله لايؤويني وإياك ما عشت إلا المسجد!"
Dari
 Al-A’roj berkata, “Saya mendengar Abu Said Al-Khudri berkata kepada 
seseorang, “Tidakkah engkau mendengarkan perkataanku?, aku sampaikan 
kepadamu hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bahwasanya ia 
bersabda ((Janganlah kalian menjual dinar dengan dinar atau dirham 
dengan dirham kecuali jika sama sama berat timbangannya, dan janganlah 
kalian menjualnya dengan tidak kontan)), kemudian engkau berfatwa dengan
 fatwamu (yang menyelisihi hadits)??. Demi Allah kita tidak akan berada 
di bawah satu atap selama hidupku kecuali di mesjid”[27]
Berkata 
Al-Hakim, :”Saya mendengarnya –yaitu Abu Bakar As-Shibgi (wafat pada 
tahun 342 H)- tatkala dia sedang berbicara dengan seorang ahli fikih, 
dia berkata, “Sampaikanlah kepada kami riwayat hadits dari jalan 
Sulaiman bin Harb!”. Maka ahli fiqh itu berkata, حَدَّثَنَا دَعْنَا مِنْ
 “Tinggalkan kami dari perkataan حَدَّثَنَا (Telah menyampaikan kepada 
kami),  إِلَى مَتَى حَدَّثَنَا وَ أَخْبَرَنَاsampai kapan terus (kita 
sibuk dengan) حَدَّثَنَا dan أَخْبَرَنَا (Telah mengabarkan kepada 
kami)??. Maka Abu Bakar As-Sibgi berkata, يا هذا لست أشُمُّ من كلامك 
رائحة الإِيْمَانِ، وَلاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ تدخل دَاري “Wahai fulan, saya
 tidak mencium dari perkataanmu bau kaimanan, dan tidak halal bagi 
engkau memasuki rumahku”. Kemudian diapun memboikot ahli fikh tersebut 
hingga dia wafat.[28]
Abul Husain At-Thobsi berkata, “Saya 
mendengar Abu Sa’id Al-Ashthikhri berkata –dan tatkala itu datang 
seseorang kepadanya dan bertanya kepadanya, “Apakah boleh beristinja’ 
dengan tulang?- maka ia (Abu Sa’id) menjawab, “Tidak boleh”. Orang itu 
berkata, “Kenapa tidak boleh?”, ia berkata, “Karena Rasulullah 
shallallahu 'alihi wa sallam bersabda ((هُوَ زَادُ إِخْوَانِكُمْ مِنَ 
الْجِنِّ)) “Dia adalah bekal (makanan) saudara-saudara kalian dari 
golongan jin”. Orang itu menimpali, “Bukankah manusia lebih mulia 
daripada jin?” ia berkata, “Tentu manusialah yang lebih mulia”. Orang 
itu berkata, “Jika demikian, lantas mengapa boleh beristinja’ dengan 
air, padahal air adalah minuman manusia?”, iapun menerjang orang itu dan
 memegang lehernya dan berkata “Wahai zindik (munafik), engkau menentang
 sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam??. Lalu ia (Abu Sa’id) 
mencekik orang itu, kalau tidak segera saya cegah mungkin ia telah 
membunuh orang itu”[29]
Ibnul Qoyyim berkata, “Apakah ada 
diantara para sahabat yang tatkala mendengar hadits Nabi lantas 
memabantahnya dengan qiyasnya?, atau dengan perasaannya?, atau dengan 
pendapatnya?, atau dengan akalnya?, atau dengan siasat 
politiknya???...apakah ada diantara mereka yang lebih mendahulukan akal 
atau qiyas atau perasaan atau politik atau taklid dari pada hadits Nabi 
shallallahu 'alihi wa sallam ??... Sungguh Allah telah memuliakan dan 
mensucikan dan menjaga mata mereka dari melihat wajah orang yang 
demikian halnya (yang menentang hadits Nabi dengan akal atau 
perasaannya) atau membiarkan ada orang seperti ini dizaman mereka.
Umar
 bin Khottob telah memberi hukuman pedang kepada orang yang mendahulukan
 pendapatnya dari pada hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam 
dengan berkata, “ini adalah pendapatku”.
Ya Allah… bagaimana jika
 Umar melihat apa yang kita lihat sekarang ini?? Jika Umar menyaksikan 
musibah yang menimpa kita berupa sikap mengedepankan pendapat si fulan 
dan si fulan dari pada perkataan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam yang 
terjaga dari kesalahan?? Bagaimana jika Umar melihat penentangan 
orang-orang yang menampilkan pendapat-pendapat mereka dan lebih 
mengedepankan pendapat dan pemikiran mereka daripada perkataan 
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam?? Hanyalah Allah tempat meminta 
pertolongan, Dari Dialah kita diciptakan dan kepadaNyalah kita 
kembali”.[30]
Allah berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ 
آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلا 
تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ 
أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ﴾ (الحجرات:2)
Hai 
orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari 
suara Nabi, dam janganlah kamu berkata padanya dengan suara keras 
sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang 
lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak 
menyadari. (QS. 49:2)
Berkata Ibnul Qoyyim mengomentari ayat ini,
 “Maka Allah memperingatkan orang-orang mukmin dari terhapusnya amalan 
mereka jika mereka mengeraskan suara mereka di hadapan Rasulullah 
shallallahu 'alihi wa sallam sebagaimana mereka mengeraskan suara mereka
 diantara mereka.
Dan terhapusnya amalan dalam permasalahan ini 
bukanlah dikarenakan kemurtadan tetapi dikarenakan kemaksiatan yang bisa
 menghapuskan amal padahal pelakunya tidak merasa. Bagaimana pula dengan
 orang yang mengedapankan perkataan, petunjuk, dan jalan selain 
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam diatas perkataan, petunjuk, dan 
jalan Rasulullah??, bukankah orang seperti ini juga telah menghapus 
amalannya dan dia dalam keadaan tidak sadar??[31]
 
3. Tidak mengedapankan perkataan siapapun diatas perkataan Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam
As-Sya’bi
 berkata kepada seseorang, مَا حدَّثُوك عن رسول الله فخذ به وما قالوه 
برأيهم فَأَلْقِهِ في الحُشِّ  “Apa saja yang mereka sampaikan kepadamu 
dari Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam maka ambillah dan apa saja 
yang mereka katakan dari pendapat mereka maka buanglah di jamban (tempat
 buang air)[32]
Berkata Umar bin Abdilaziz, لارأْيَ لأَحَدٍ مع 
سنةٍ سنَّهَا رسولُ الله “Tidak dilihat pendapat siapapun jika telah ada 
sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam”[33]
Imam As-Syafi’I 
berkata, أَجْمعَ الناسُ على أنَّ من استبانتْ له سنةٌ عن رسول الله لم يكن
 له أنْ يَدَعَها لِقول أحد من النَّاس “Manusia telah sepakat bahwasanya 
barangsiapa yang telah jelas baginya suatu sunnah dari Nabi shallallahu 
'alihi wa sallam maka tidak boleh baginya untuk meninggalkan sunnah 
tersebut karena mengikuti perkataan (pendapat) seseorang”. Dan telah sah
 bahwasanya beliau juga pernah berkata, لا قول لأَحَدٍ مع سنةِ رسولِ 
الله “Tidak dilihat pendapat siapapun jika telah ada sunnah Nabi 
shallallahu 'alihi wa sallam”[34]
Berkata Ibnu Khuzaimah, ,  لا 
قول لأَحَدٍ مع رسولِ الله إِذَا صَحَّ الْخَبَرُ غنه “Tidak dipandang 
perkataan siapapun jika telah sah sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa 
sallam”[35]
Dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Nabi berhaji 
tamattu’[36], maka Urwah bin Az-Zubair berkata, “Abu Bakar dan Umar 
melarang tamattu’”. Ibnu Abbas menimpali perkataannya, أُرَاهُم 
سَيَهْلَكُوْنَ، أَقُوْلُ قَالَ النَّبِيُّ وَيَقُوْلُوْنَ: نَهَى أَبُو 
بَكْرٍ وَ عُمَرُ “Aku melihat mereka akan binasa, aku menyampaikan 
kepada mereka “Nabi shallallahu 'alihi wa sallam bersabda demikian”, 
namun mereka berkata “Abu Bakar dan Umar melarang.”[37]
Dalam 
riwayat yang lain beliau berkata, يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ حِجَارَةٌ مِنَ 
السَّمَاءِ، أَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَتَقُوْلُونَ قَالَ أَبُو 
بَكْرٍ وَعُمَرُ؟؟! “Hampir saja menimpa kalian hujan batu dari langit, 
aku berkata “Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata demikian” 
lantas kalian berkata, “Abu Bakar dan Umar berkata demikian dan 
demikian”[38]
Berkata Syaikh Ibnu Al-Utsaimin, “Abu Bakar dan 
Umar adalah orang yang paling terbaik dari umat ini, dan yang paling 
dekat kepada kebenaran. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam telah bersabda
 إِنْ يُطِيْعُوا أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ يَرْشُدُوا  “Jika mereka patuh 
kepada Abu Bakar dan Umar maka mereka akan mendapat petunjuk”[39], dan 
diriwayatkan juga dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam bahwasanya 
beliau bersabda  اِقْتَدَوْا بِالَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ 
وَعُمَرَ “Teladanilah dua orang sepeninggalku yaitu Abu Bakar dan 
Umar!”[40]. Beliau shallallahu 'alihi wa sallam juga bersabda عَلَيْكُمْ
 بِسُنّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ 
بَعْدِي تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَجَذَِ “Wajib 
atas kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rosyidin 
yang mendapat petunjuk sepeninggalku. Berpegangteguhlah dengannya dan 
gigitlah dengan geraham-geraham kalian”[41]. Dan tidak pernah diketahui 
dari Abu Bakar dan Umar bahwasanya keduanya menyelisihi hadits yang 
sangat jelas dari Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dengan akal 
mereka berdua. Maka jika ada orang yang menghadapkan hadits Rasulullah 
shallallahu 'alihi wa sallam dengan perkataan Abu Bakar dan Umar maka 
dikawatirkan akan turun hujan batu dari langit bagaimana lagi dengan 
orang yang menentang hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam 
dengan membawakan perkataan orang yang jauh di bawah derajat mereka 
berdua?? Padahal perbedaan antara orang tersebut dengan Abu Bakar dan 
Umar seperti bedanya langit dan bumi??, tentunya hukumannya lebih parah 
lagi.[42]”
Berkata Salim bin Abdillah,
إني لجَاَلِسٌ مع 
ابن عمر في المسجد إذ جاءه رجل من إهل الشام فسأله عن التمتع بالعمرة إلى 
الحج؟ فقال ابن عمر : حسن جميل. فقال: فإن أباك كان ينهى عن ذلك؟ فقال: 
ويلك! فإن كان أبي قد نهى عن ذلك وقد فعله رسول الله وأمر به، فبقول أبي 
تأخذ أم بأمر رسول الله؟ قال بأمر رسول الله. فقال : فقم عني
“Aku 
sedang duduk bersama Ibnu Umar di masjid tiba-tiba datang seseorang dari
 penduduk negeri Syam, lalu dia bertanya kepada Ibnu Umar tentang umrah 
bersama haji?, maka Ibnu Umar berkata, “(Ini adalah perkara yang) baik 
dan bagus”. Orang itu berkata, “Tapi ayahmu (yaitu Umar bin Al-Khottob) 
dulu melarang perkara ini?”. Ibnu Umar berkata, “Celaka engkau, jika 
ayahku telah melarang perkara ini dan perkara ini telah dikerjakan oleh 
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dan telah memerintahkannya maka 
perkataan ayahku yang kau pegang ataukah perintah Nabi shallallahu 
'alihi wa sallam?!”. Orang itu berkata, “Perintah Nabi”. Ibnu Umar lalu 
berkata, “Menyingkirlah dariku!!”.[43]   
Berkata Abu As-Saib, 
“Kami berada  bersama Imam Waki’ lalu beliau berkata kepada seseorang 
yang termasuk ahlu ro’yi أَشْعَرَ رَسُوْلُ اللهِ “Rasulullah berbuat 
isy’ar[44]”. Orang itupun menimpali, “Tapi Abu Hanifah berpendapat bahwa
 isy’ar itu adalah mutslah (penyiksaan dengan mencincang)”. Kemudian 
orang itu melanjutkan perkataannya, “Telah datang dari Ibrahim 
An-Nakho’i bawhasanya dia berkata, “Isy’ar itu mutslah”. Maka akupun 
melihat Imam Waki’ marah besar dan berkata: أَقُوْلُ لَك ٌَالَ رَسُوْلُ 
اللهِ وَتَقُوْلُ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ؟؟ مَا أَحَقَّكَ بِأَنْ تُحْبَسَ 
ثُمَّ لاَتَخْرُجَ حَتَّى تَنْزِعَ عَن قَوْلِكَ  “Aku berkata kepadamu 
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda demikian lantas engkau 
berkata Ibrahim berkata demikian..!!, engkau sungguh sangat pantas untuk
 dipenjara kemudian tidak keluar dari penjara tersebut hingga engkau 
mencabut perkataanmu ini!”[45]
Berkata Imam Ahmad:
 عجِبتُ
 من قَومٍ عرَفوا الإسنادَ وَصِحَّتَهُ يذهبون إلى رَأْيِ سُفيانَ واللهُ 
يقول : ﴿فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ 
تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴾ (النور: من 
الآية63). أتدري ما الفتنة؟ الفتنة شرك، لعله إذا ردَّ بعضَ قوله أَن يقعَ 
في قلبه شيء من الزيغ فَيهْلِك
 “Aku heran terhadap sauatu kaum 
yang mereka mengetahui tentang isnad dan shohihnya isnad tersebut lantas
 mereka mengikuti pendapat Sufyan (At-Tsauri yang menyelisihi hadits 
Rasulullah-pen), padahal Allah telah berfirman: “Maka hendaklah 
orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau 
ditimpa azab yang pedih.” (QS. 24:63). Tahukah engkau apa yang dimaksud 
dengan fitnah dalam ayat ini?, maksudnya adalah keyirikan, karena ia 
jika menolak sebagian hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam 
maka akan masuk dalam hatinya suatu penyimpangan lalu ia celaka”[46]
Namun
 yang sangat menyedihkan apa yang terjadi pada kaum muslimin, banyak 
dari mereka yang terlalu berlebihan dalam mengagungkan imam madzhab 
mereka, guru-guru mereka, kiyai-kiyai mereka sampai-sampai mereka lebih 
mendahulukan pendapat imam-imam mereka daripada hadits Rasulullah 
shallallahu 'alihi wa sallam.
Ibnu Sirin menyampaikan hadits 
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam kepada seseorang lalu orang itu 
berkata, “Si fulan dan si fulan telah berkata ini dan itu..”, maka Ibnu 
Sirinpun berkata أُحَدِّثُكَ عَنِ النَّبِيِّ وَتَقُوْلُ قَالَ فُلاَنٌ 
وَفُلاَنٌ كَذَا وَكَذَا؟، وَاللهِ لاَأُكَلِّمُكَ أَبَدًا “Aku 
menyampaikan kepadamu hadits dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam 
lantas engkau berkata, “Si fulan dan si fulan telah berkata ini dan 
itu”?, demi Allah aku tidak akan berbicara denganmu selamanya”[47]
 
4. Berhukum kepada sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam jika terjadi perselisihan dalam permasalahan apapun
Allah berfirman
﴿وَمَا
 كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ 
أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ 
اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً﴾ (الأحزاب:36)
Dan
 tidakkah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi 
perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetappkan 
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
 mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka 
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. 33:36)
﴿يَا 
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ 
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ 
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ 
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً﴾ (النساء:59)
Hai
 orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan 
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang
 sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul 
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari 
kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik 
akibatnya. (QS. 4:59)
Firman Allah شَيْءٍ “sesuatu”, dalam ayat ini mencakup seluruh perselisihan baik dalam masalah usul maupun masalah furu’[48]
﴿فَلا
 وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ 
ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجاً مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا
 تَسْلِيماً﴾ (النساء:65)
Maka demi Rabbmu, mereka (pada 
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam 
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa 
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan 
mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. 4:65)
Berkata Ibnu 
Taimiyah, “Semua yang keluar dari sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa 
sallam dan syari’atnya (tidak berhukum dengan sunnah Nabi shallallahu 
'alihi wa sallam) maka Allah telah bersumpah dengan Dzatnya Yang Suci 
bahwasanya mereka tidaklah beriman hingga mereka ridha dengan hukum yang
 diputuskan oleh Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam di semua 
perkara yang mereka perselisihkan baik perkara agama maupun perkara 
dunia, dan hingga tidak tersisa dalam hati mereka rasa keberatan 
terhadap keputusan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam”[49] 
﴿ألَمْ
 تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ 
إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا 
إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ 
الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالاً بَعِيداً وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ 
تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ 
الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُوداً﴾ (النساء:60-61)
 
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah 
beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang 
diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal 
mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud 
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila 
dikatakan kepada mereka:”Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah 
telah turunkan dan kepada hukum Rasul,” niscaya kamu lihat orang-orang 
munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) 
kamu. (QS. 4:60-61)
 Berkata Ibnul Qoyyim, “Maka Allah menjadikan
 sikap berpaling dari apa yang datang dari Nabi shallallahu 'alihi wa 
sallam dan sikap memandang kepada hukum selain hukum Rasulullah 
shallallahu 'alihi wa sallam merupakan hakikat dari kemunafikan, 
sebagaimana hakikat dari keimanan adalah menjadikan Rasulullah 
shallallahu 'alihi wa sallam pemutus perkara dan tidak adanya keberatan 
dalam dada dari keputusan yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu 
'alihi wa sallam serta pasrah menerima dengan keputusan tersebut, ridha 
sesuai dengan kehendak sendiri karena kecintaan kepada Nabi shallallahu 
'alihi wa sallam. Inilah hakikat dari keimanan, dan sikap berpaling 
adalah hakikat dari kemunafikan”[50]
Dan hal inilah (kembali 
kepada sunnah Nabi tatkala terjadi perselisihan) yang diserukan oleh 
para Imam madzhab. Namun sungguh menyedihkan betapa banyak para pengikut
 madzhab yang fanatik dengan madzhab mereka. Mereka memegang teguh 
pendapat imam madzhab mereka, seakan-akan perkataan imam mereka turun 
dari langit[51], seakan-akan imam mereka ma’sum (terjaga dari 
kesalahan). Padahal ini menyelisihi wasiat dari para imam madzhab 
tersebut.[52]
a.       Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al-Kufi,
Diantara wasiat-wasiat beliau adalah:
 إذا صح الحديث فهو مذهبي
“Jika telah shahih suatu hadits maka itulah madzhabku”[53]
 لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا ما لم يعلم من أين أخذناه
“Tidak halal bagi seorangpun untuk mengambil pendapat kami jika dia tidak tahu dari mana kami mengambil pendapat tersebut”[54]
وفي رواية : ( حرام على من لم يعرف دليلي أن يفتي بكلامي )
Dalam riwayat yang lain, “Haram atas orang yang tidak mengetahui dalilku untuk berrfatwa dengan pendapatku”
 زاد في رواية : ( فإننا بشر نقول القول اليوم ونرجع عنه غدا )
Dalam
 riwayat yang lain, “Sesungguhnya kami hanyalah manusia, kami menyatakan
 suatu pendapat pada hari ini kemudian esok harinya kami cabut pendapat 
tersebut”
 وفي أخرى : ( ويحك يا يعقوب ( هو أبو يوسف ) لا تكتب كل 
ما تسمع مني فإني قد أرى الرأي اليوم وأتركه غدا وأرى الرأي غدا وأتركه بعد
 غد )
Dalam riwayat yang lain, “Celaka engkau wahai Ya’qub (yaitu
 Abu Yusuf), janganlah engkau menulis semua yang kau dengar dariku, 
karena aku terkadang menyatakan suatu pendapat pada hari ini kemudian 
esok harinya aku tinggalkan pendapatku tersebut, dan terkadang aku 
menyatakan suatu pendapat di esok hari kemudian lusanya aku tinggalkan 
pendapatku tersebut.”
Berkata Syaikh Al-Albani, “Hal ini terjadi 
karena Imam Abu Hanifah banyak membangun pendapat-pendapatnya di atas 
qias, lalu nampak baginya ada qias lain yang lebih kuat, atau sampai 
kepadanya hadits Nabi shallallahu 'alihi wa sallam (yang tadinya tidak 
diketahuinya) kemudian diapun mengambil hadits tersebut dan meninggalkan
 pendapatnya yang lalu”[55]
b.       Imam Malik bin Anas
Diantara wasiat-wasiat beliau adalah:
إنما أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا في رأيي فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوه وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه
“Sesungguhnya
 aku hanyalah manusia berbuat benar dan bersalah, maka lihatlah kepada 
pendapatku, semua pendapatku yang sesuai denga Al-Qur’an dan sunnah Nabi
 shallallahu 'alihi wa sallam maka ambillah dan semua yang tidak sesuai 
dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam maka 
tinggalkanlah”[56]
ليس أحد بعد النبي صلى الله عليه وسلم إلا ويؤخذ من قوله ويترك إلا النبي صلى الله عليه وسلم
Tidak
 seorangpun setelah sepeninggal Nabi  shallallahu 'alihi wa 
sallamkecuali pendapatnya bisa diterima atau ditolak, kecuali Nabi 
shallallahu 'alihi wa sallam”[57]
قال ابن وهب : سمعت مالكا سئل عن
 تخليل أصابع الرجلين في الوضوء ؟ فقال : ليس ذلك على الناس، قال فتركته 
حتى خف الناس فقلت له : عندنا في ذلك سنة فقال : وما هي ؟ قلت : حدثنا 
الليث بن سعد وابن لهيعة وعمرو بن الحارث عن يزيد بن عمرو المعافري عن أبي 
عبد الرحمن الحنبلي عن المستورد بن شداد القرشي قال : رأيت رسول الله صلى 
الله عليه وسلم يدلك بخنصره ما بين أصابع رجليه . فقال : إن هذا الحديث حسن
 وما سمعت به قط إلا الساعة ثم سمعته بعد ذلك يسأل فيأمر بتخليل الأصابع
Berkata
 Ibnu Wahb, “Saya mendengar Malik ditanya tentang (hukum) menyela-nyela 
jari-jari kaki tatkala wudlu”, beliau berkata, “Hal itu tidak dilakukan 
oleh orang-orang”, maka akupun meninggalkannya hingga orang-orang sudah 
sepi lalu aku katakan kepadanya, “Kami mengetahui sunnah Nabi 
shallallahu 'alihi wa sallam tentang hal itu”, Imam Malik berkata, 
“Sebutkan sunnah tersebut!”. Aku berkata, “Telah menyampaikan kepada 
kami Al-Laits bin Sa’ad dan Ibnu Lahi’ah dan ‘Amr bin Al-Harits dari 
Yazid bin ‘Amr Al-Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habali dari 
Al-Mustaurod bin Syaddad Al-Qurosyi, ia berkatam “Saya melihat 
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam menggosok dengan jari 
keingkingnya sela-sela jari-jari kakinya”. Lalu berkata Imam Malik, 
“Hadits ini adalah hadits yang hasan, aku sama sekali tidak pernah 
mendengarnya kecuali sekarang.” Kemudian saya mendengar ia ditanya 
setelah itu maka iapun memerintahkan untuk menyela jari-jari kaki 
tatkala wudlu”[58]
c. Imam As-Syafi’i
Diantara wasiat-wasiat beliau adalah:
أَجْمعَ الناسُ على أنَّ من استبانتْ له سنةٌ عن رسول الله لم يكن له أنْ يَدَعَها لِقول أحد من النَّاس
“Manusia
 telah sepakat bahwasanya barangsiapa yang telah jelas baginya suatu 
sunnah dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam maka tidak boleh baginya 
untuk meninggalkan sunnah tersebut karena mengikuti perkataan (pendapat)
 seseorang”
 )إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه
 وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت(. وفي رواية (
 فاتبعوها ولا تلتفتوا إلى قول أحد )
“Jika kalian mendapatkan 
dalam kitab-kitabku apa yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu 
'alihi wa sallam maka bepandapatlah dengan sunnah Rasulullah shallallahu
 'alihi wa sallam dan tinggalkanlah pendapatku”, dalam riwayat yang 
lain, “Ikutilah sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan janganlah 
kalian melihat pendapat siapapun”[59]
 ( إذا صح الحديث فهو مذهبي )
“Jika telah shahih suatu hadits maka itulah madzhabku”[60]
إذا رأيتموني أقول قولا وقد صح عن النبي صلى الله عليه وسلم خلافه فاعلموا أن عقلي قد ذهب.
“Jika
 kalian mendapatiku menyatakan suatu pendapat padahal ada hadits yang 
shahih dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam yang menyelisihi 
pendapatku itu maka ketahuilah tatkala itu akalku sedang tidak ada”[61]
كل حديث عن النبي صلى الله عليه وسلم فهو قولي وإن لم تسمعوه مني
“Semua
 hadits dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam maka itulah pendapatku 
walaupun kalian tidak mendengar aku menyatakan pendapatku tersebut”[62]
d.       Imam Ahmad bin Hanbal
Diantara wasiat-wasiat beliau:
لا تقلدني ولا تقلد مالكا ولا الشافعي ولا الأوزاعي ولا الثوري وخذ من حيث أخذوا
“Janganlah
 kalian taklid kepadaku, dan jangan taklid kepada Malik, As-Syafi’i, 
Al-Auza’i, Ats-Tsauri, namun ambillah dari mana mereka mengambil”[63]
رأي الأوزاعي ورأي مالك ورأي أبي حنيفة كله رأي وهو عندي سواء وإنما الحجة في الآثار
Beliau
 juga berkata, “Pendapat Al-Auza’i, pendapat Malik, pendapat Abu Hanifah
 semuanya adalah pendapat, semuanya sama di sisiku. Hujjah (argumen) 
hanyalah pada atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa 
sallam)”[64]
Syaikh Al-Albani berkata (setelah menyebutkan 
wasiat-wasiat empat imam madzhab di atas), “Inilah perkataan para Imam 
madzhab tentang perintah untuk berpegang teguh dengan hadits dan 
larangan untuk mentaklid mereka tanpa dalil. Perkataan-perkataan mereka 
ini sangat jelas, tidak bisa dipungkiri, dan tidak bisa ditarik ulur 
maknanya. Oleh karena itu barangsiapa yang berpegang teguh dengan semua 
yang shahih dari sunnah-sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam 
walaupun menyelisihi sebagian pendapat para imam madzhab maka tidaklah 
dikatakan dia telah tampil beda (menyelisihi) atau telah keluar dari 
jalan para imam madzhab, bahkan dia adalah pengikut para imam madzhab 
tersebut dan telah berpegang teguh kepada buhul tali yang amat kuat yang
 tidak akan putus. Berbeda dengan orang yang meninggalkan sunnah Nabi 
shallallahu 'alihi wa sallam yang shahih hanya karena menyelisihi 
pendapat para imam madzhab, orang seperti ini pada hakekatnya telah 
menentang para imam madzhab dan menyelisihi perkataan dan wasiat mereka 
sebagaimana telah disebutkan disatas. Allah berfirman:
﴿فَلا 
وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ 
ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجاً مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا
 تَسْلِيماً﴾ (النساء:65)
Maka demi Rabbmu, mereka (pada 
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam 
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa 
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan 
mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. 4:65)
﴿فَلْيَحْذَرِ 
الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ 
يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴾ (النور: من الآية63)
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. 24:63)”[65]
Firanda Andirja
www.firanda.com
Catatan Kaki:
[1] Diriwayatkan oleh Al-Hakim 3/62 dan 
beliau berkata, “Ini adalah hadits yang shahih sesuai dengan kriteria 
persyaratan Imam Bukhari dan Muslim dan keduanya tidak mengeluarkan 
hadits ini (dalam kitab shahih mereka). Dan beliau disepakati oleh 
Ad-Dzahabi. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani karena syawahidnya 
(As-Shahihah no 306)
[2] Maksud dari perkataan serigala ini 
adalah “Engkau wahai penggembala kambing yang telah merebut kembali 
kambingmu dariku, sesungguhnya engkau suatu saat akan lari tatkala 
datang singa menerkam kambing ini dan engkau tidak bisa 
menyelamatkannya, lalu singa tersebut memakan kambing itu hingga puas 
kemudian akulah sendiri yang berada (menunggui/memperhatikan kambing 
itu) hingga selesai singa itu makan, lalu aku memakan kambing yang 
tersisa dari lahapan singa.” (Fathul Bari 7/35 penjelasan hadits no 
3663)
[3] HR Al-Bukhari no 3471, dan dalam tempat-tempat yang lain no 2324,  3663, dan 3690
[4] Fathul Bari 7/35 penjelasan hadits no 3663
[5] Fathul Bari 6/634, penjelasan hadits no 3471
[6]
 Jangankan hadits yang ini bahkan hadits yang tidak aneh saja mereka 
tolak sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam 
Al Bukhari dimana Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda :
قال النبي  إذا وقع الذباب في شراب أحدكم فليغمسه ثم لينزعه فإن في إحدى جناحيه داء والأخرى شفاء  
 “Jika sesekor lalat jatuh di minuman salah seorang dari kalian maka 
hendaklah ia memebenamkan lalat tersebut (dalam minumannya) kemudia 
mengeluarkan lalat tersebut karena pada salah satu sayap lalat tersebut 
ada racun dan pada sayap yang lain ada obat”
Hadits ini 
diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Abu Dawud no 3844, Ibnu Majah no 
3503, Ahmad no 7353, 7562, 8642, 9024, 9157, 9719, 11205, Ibnu Hibban no
 1246, 1247, 5250, Ibnu Khuzaimah no150 (1/56),  An-Nasai (Al-Kubro) no 
4588 (3/88), Al-Baihaqi no 1122, 1125. Hadits ini diriwayatkan dari Abu 
Hurairah dan Abu Sa’I Al-Kudri. Juga dirwayatkan dari Anas bin Malik 
sebagaimana dalam riwayat Al-Bazzar dengan para perawi yang tsiqoh 
sebagaimana perkataan Ibnu Hajar (Al-Fath 10/308 syarh hadtis no 5782) 
dari riwayat ‘Abdullah bin Al-Mutsanna dari paman beliau Tsumamah 
bahwasanya pamannya tersebut menyampaikan kepadanya seraya berkata,
كنا
 عند أنس فوقع ذباب في إناء فقال أنس بأصبعه فغمسه في ذلك الإناء ثلاثا ثم 
قال بسم الله وقال أن رسول الله  صلى الله عليه وسلم  أمرهم أن يفعلوا ذلك
“Kami
 bersama Anas, lalu jatuh seeokr lalat di sebuah cangkir maka Anaspun 
mneclupkan lalat tersebut dengan jarinya dalam cangkir tersebut tiga 
kali kemudian ia berkata “Bismillah” dan berkata, “Sesungguhnya 
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam memerintahkan mereka (para 
sahabat) untuk melakukannya”
Sebagian mereka ada yang berkata 
mengomentari hadits ini, “Saya mengambil perkataan Dokter yang kafir dan
 saya tidak menerima perkataan Rasulullah !!!”
Oleh karena itu 
jangan tertipu dengan perkataan orang yang menolak hadits ini dengan 
dalih bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan 
riwayat-riwayat Abu Hurairah masih perlu diteliti dan dipertanyakan. 
Ketahuilah bahwa seandainya Abu Hurairah sendiri yang meriwayatkan 
hadits ini maka kita harus menerimanya karena dia adalah seorang sahabat
 yang pernah didoakan oleh Rasulullah agar kuat hapalannya. Apalagi jika
 hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri dan Anas bin 
Malik –semoga Allah meridhoi mereka-.
Berkata Al-Khottobi  هذا 
مما ينكره من لم يشرح الله قلبه “Hadits ini diantara hadits-hadits yang 
diingkari oleh orang yang tidak dilapangkan dadanya oleh Allah” (Umdatul
 Qori 21/293)  
[7] Madarijus Salikin 2/387
[8] Berkata 
Ibnu Hajar, “Yaitu janganlah kalian beramal dalam perkara agama dengan 
hanya sekedar mengandalkan otak dengan tanpa bersandar kepada dalil dari
 agama” (Fathul Bari 13/353, syarh hadits no7308)
[9] Maksudnya 
adalah tatkala terjadi perundingan Hudaibiyah.  Berkata Ibnu Hajar, 
“Disebut kejadian Abu Jandal karena kejadian yang paling genting tatkala
 itu adalah kisah Abu Jandal” (Fathul Bari 6/338 syarah hadits no 3181).
 Lihat kisah Abu Jandal dan jalannya perundingan Hudaibiyah secara 
lengkap pada HR Al-Bukhari no 2731,2732, Kitab As-Syurut. Secara ringkas
 kejadiannya sebagai berikut:
Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam 
bersama para sahabatnya (diantaranya adalah Abu Bakar dan Umar) pergi 
dari Madinah pada hari senin bulan Dzul Qo’dah tahun ke enam Hijriah 
(Umdatul Qori 14/6), menuju Mekah untuk melaksanakan Umroh. Tatkala Nabi
 shallallahu ‘alihi wa sallam dan para sahabatnya sampai dan singgah di 
Hudaibiyah datanglah Budail bin Warqo’ mengabarkan kepada Nabi 
shallallahu ‘alihi wa sallam bahwa orang-orang musyrik di Mekah telah 
siap siaga untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dan 
para sahabatnya dan akan mengahalangi mereka mengerjakan umroh. Nabi 
÷pun berkata,
إنا لم نجئ لقتال أحد ولكنا جئنا معتمرين وإن قريشا 
قد نهكتهم الحرب وأضرت بهم فإن شاؤوا ماددتهم مدة ويخلوا بيني وبين الناس 
فإن أظهر فإن شاؤوا أن يدخلوا فيما دخل فيه الناس فعلوا وإلا فقد جموا وإن 
هم أبوا فوالذي نفسي بيده لأقاتلنهم على أمري هذا حتى تنفرد سالفتي ولينفذن
 الله أمره
“Sesungguhnya kami datang bukan untuk 
memerangi seorangpun, namun kami datang untuk mengerjakan umroh. 
Sesungguhnya peperangan (yang telah terjadi antara kaum muslimin dan 
kafir Quraisy secara berulang-ulang-pen) telah melemahkan kaum Quraisy 
dan telah memberi kemudhorotan kepada mereka. Jika mereka ingin maka aku
 akan memberikan waktu perdamaian (gencat senjata) antara aku dan 
orang-orang (yaitu orang-orang kafir Arab). Jika (di masa perdamaian 
tersebut) kaum selain mereka (yaitu orang-orang kafir dari selain kafir 
Quraisy kota Mekah) mengalahkan aku maka mereka tidak perlu memerangiku 
lagi (karena aku telah dikalahkan oleh selain mereka-pen). Dan jika aku 
mengalahkan kaum selain mereka, maka jika mereka ingin mentaatiku 
sehingga masuk dalam Islam sebagaimana orang-orang masuk dalam Islam 
maka silahkan. Dan jika mereka enggan masuk dalam Islam maka selepas 
masa gencatan senjata kekuatan mereka telah kembali. Namun jika mereka 
(sekarang) enggan untuk gencatan senjata maka demi Dzat yang jiwaku 
berada di tanganNya, aku sungguh-sungguh akan memerangi mereka di atas 
agamaku hingga aku mati (dan aku bersendirian dalam kuburanku). Dan 
sesungguhnya Allah akan menolong agamaNya”.Akhir cerita
 akhirnya orang-orang Quraisy setuju dengan gencatan senjata lalu mereka
 mengutus Suhail bin ‘Amr untuk menulis perjanjian damai dengan Nabi 
shallallahu 'alihi wa sallam.
فجاء سهيل بن عمرو فقال هات اكتب 
بيننا وبينكم كتابا فدعا النبي  صلى الله عليه وسلم  الكاتب فقال النبي  
صلى الله عليه وسلم  بسم الله الرحمن الرحيم قال سهيل أما الرحمن فوالله ما
 أدري ما هو ولكن اكتب باسمك اللهم كما كنت تكتب فقال المسلمون والله لا 
نكتبها إلا بسم الله الرحمن الرحيم فقال النبي  صلى الله عليه وسلم  اكتب 
باسمك اللهم ثم قال هذا ما قاضى عليه محمد رسول الله فقال سهيل والله لو 
كنا نعلم أنك رسول الله ما صددناك عن البيت ولا قاتلناك ولكن اكتب محمد بن 
عبد الله فقال النبي  صلى الله عليه وسلم  والله إني لرسول الله وإن 
كذبتموني اكتب محمد بن عبد الله (وفي رواية: وكان لا يكتب، فقال لعلي: 
"امْحُ رسولَ الله"، فقال علي: "والله ر أمحاه أبداً". قال: "فأرِنِيه". 
فأراه إياه فمحاه النبي بيده) فقال له النبي  صلى الله عليه وسلم  على أن 
تخلوا بيننا وبين البيت فنطوف به فقال سهيل والله لا تتحدث العرب أنا أخذنا
 ضغطة ولكن ذلك من العام المقبل فكتب فقال سهيل وعلى أنه لا يأتيك منا رجل 
وإن كان على دينك إلا رددته إلينا قال المسلمون سبحان الله كيف يرد إلى 
المشركين وقد جاء مسلما فبينما هم كذلك إذ دخل أبو جندل بن سهيل بن عمرو 
يرسف في قيوده وقد خرج من أسفل مكة حتى رمى بنفسه بين أظهر المسلمين فقال 
سهيل هذا يا محمد أول ما أقاضيك عليه أن ترده إلي فقال النبي  صلى الله 
عليه وسلم  إنا لم نقض الكتاب بعد قال فوالله إذا لم أصالحك على شيء أبدا 
قال النبي  صلى الله عليه وسلم  فأجزه لي قال ما أنا بمجيزه لك قال بلى 
فافعل قال ما أنا بفاعل قال أبو جندل أي معشر المسلمين أرد إلى المشركين 
وقد جئت مسلما ألا ترون ما قد لقيت وكان قد عذب عذابا شديدا في الله
Lalu
 datanglah Suhail bin ‘Amr, lalu iapun berkata kepada Nabi shallallahu 
'alihi wa sallam “Tulislah suatu pernyataan antara kami dan kalian!”, 
maka Nabi shallallahu 'alihi wa sallam memanggil penulis (yaitu Ali bin 
Abi Tholib) dan menyuruhnya untuk menulis Bismillahirrohmanirrohim. 
Suhail berkata, “Adapun Ar-Rohim maka demi Allah, aku tidak tahu apa 
itu?, tapi tulislah saja bismikallahumma sebagaimana engkau pernah 
menulis demikian” (karena kebiasaan orang jahilah dahulu mereka menulis 
“bimikallahumma” dan mereka tidak mengenal bismillahirromanirrohim, 
lihat Umdatul Qori 14/13). Kaum muslimin (yaitu para sahabat Nabi 
shallallahu 'alihi wa sallam) berkata, “Demi Allah kami tidak akan 
menulis kecuali bimillahhirrohmanirrohim”. Nabi shallallahu 'alihi wa 
sallam berkata kepada si penulis, “Tulilah bismikallahumma”, kemudian 
beliau shallallahu 'alihi wa sallam memerintahkan untuk menulis “Ini 
adalah keputusan Muhammad utusan Allah”. Suhail berkata, “Demi Allah 
kalau kami mengetahui bahwasanya engkau adalah utusan Allah maka kami 
tidak akan menghalangimu untuk umroh dan kami tidak akan memerangimu, 
tapi tulislah “Muhammad bin Abdillah”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam
 berkata, “Demi Allah aku adalah utusan Allah meskipun kalian 
mendustakan aku, tulislah “Muhammad bin Abdillah”. ((Dalam riwayat yang 
lain dari hadits Al-Baro’ –HR Al-Bukhari no 3184- Dan Nabi shallallahu 
'alihi wa sallam tidak (pandai) menulis maka iapun berkata kepada Ali, 
“Hapuslah tulisan “Utusan Allah!”. Ali berkata, “Demi Allah, aku tidak 
akan menghapusnya selamanya”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata,
 “Perlihatkanlah kepadaku tulisan tersebut!”, maka Alipun 
memperlihatkannya kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, lalu Nabi 
shallallahu 'alihi wa sallam pun menghapusnya dengan tangannya)). Lalu 
Nabi berkata kepada Suhail, “Dengan syarat kalian membiarkan kami untuk 
ke baitullah melaksanakan towaf”. Suhail berkata, “Demi Allah tidak 
(bisa demikan) –Bangsa Arab akan mengatakan bahwa kami telah terpaksa 
(mengalah membiarkan kalian umroh-pen)-, tapi kalian bisa umroh tahun 
depan”, lalu hal itupun di catat (dalam pernyataan perdamaian), lalu 
Suhai berkata (menambah pernyataan), “Dengan syarat tidak ada seorangpun
 yang datang dari kami (dari Mekah) meskipun ia berada di atas agamamu 
(Islam) kecuali engkau mengembalikannya kepada kami”. Para sahabat 
berkata, “Subhanallah, bagaiamana dikembalikan kepada orang-orang 
musyrik padahal ia telah datang (kepada kami) dalam keadaan beragama 
Islam?”. Dan tatkala mereka masih berunding membuat pernyataan 
perdamaian, tiba-tiba datang Abu Jandal anak Suhai bin ‘Amr dalam 
keadaan berjalan tertatih-tatih karena ada belenggu yang membelenggunya,
 ia telah lari dari bawah kota Mekah dan melemparkan dirinya di 
tengah-tengah para sahabat. Berkata Suhai (ayah Abu Jandal), “Wahai 
Muhammad ini adalah orang pertama yang aku menuntut engkau untuk 
mengembalikannya kepadaku!”. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, 
“Kita sama sekali belum selesai membuat pernyataan!”. Suhail berkata, 
“Kalau begitu, demi Allah, aku sama sekali tidak mau mengadakan 
perundingan damai denganmu”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, 
“Biarkanlah ia (Abu Jandal) bersamaku!”, Suhail berkata, “Aku tidak akan
 membiarkannya bersamamu!”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, 
“Tidak, tapi engakau akan membiarkannya bersamaku, lakukanlah!”. Suhail 
berkata, “Aku tidak akan melakukannya”. 
Berkata Abu Jandal, 
“Wahai kaum muslimin, apakah aku dikembalikan kepada orang-orang musyrik
 (Mekah) padahal telah datang dalam keadaan beragama Islam?, tidakkah 
kalian melihat apa yang telah menimpaku?”, dan ia telah disiksa oleh 
orang-orang musyrik dengan siksaan yang keras karena bertahan di jalan 
Allah.فقال عمر بن الخطاب فأتيت نبي الله  صلى الله عليه 
وسلم  فقلت ألست نبي الله حقا قال بلى قلت ألسنا على الحق وعدونا على 
الباطل قال بلى قلت فلم نعطي الدنية في ديننا إذا قال إني رسول الله ولست 
أعصيه وهو ناصري قلت أو ليس كنت تحدثنا أنا سنأتي البيت فنطوف به قال بلى 
فأخبرتك أنا نأتيه العام قال قلت لا قال فإنك آتيه ومطوف به قال فأتيت أبا 
بكر فقلت يا أبا بكر أليس هذا نبي الله حقا قال بلى قلت ألسنا على الحق 
وعدونا على الباطل قال بلى قلت فلم نعطي الدنية في ديننا إذا قال أيها 
الرجل إنه لرسول الله  صلى الله عليه وسلم  وليس يعصي ربه وهو ناصره 
فاستمسك بغرزه فوالله إنه على الحق قلت أليس كان يحدثنا أنا سنأتي البيت 
ونطوف به قال بلى أفأخبرك أنك تأتيه العام قلت لا قال فإنك آتيه ومطوف به
Umar
 berkata,”Akupun mendatangi Nabi shallallahu 'alihi wa sallam lalu aku 
berkata kepadanya, “Bukankah engkau adalah benar seorang Nabi (utusan) 
Allah?”, Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Tentu saja”, Aku 
berkata, “Bukankah kita berada di atas kebenaran dan musuh kita berada 
di atas kebatilan?”, Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Tentu 
saja”, Aku berkata, “Lantas mengapa kita bersikap merendah pada agama 
kita?”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Aku adalah Utusan 
Allah dan aku tidak bermaksiat kepadaNya, dan Dia adalah penolongku”. 
Aku (Umar) berkata, “Bukankah engkau perrnah mengatakan kepada kami 
bahwa kita akan mendatangi ka’bah dan bertowaf di ka’bah?”, Nabi 
shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Iya, namun apakah aku mengabarkan
 kepadamu bahwa kita akan mendatangi ka’bah tahun ini?”, Umar bekata, 
“Tidak”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya engkau
 akan mendatangi ka’bah dan akan thowaf di sana”. Umar berkata, “Akupun 
mendatangi Abu Bakar, lalu aku katakana kepadanya, “Wahai Abu Bakar , 
bukankah Nabi Muhammad adalah benar seorang Nabi (utusan) Allah?”, Abu 
Bakar berkata, “Tentu saja”, Aku berkata, “Bukankah kita berada di atas 
kebenaran dan musuh kita berada di atas kebatilan?”, Abu Bakar berkata, 
“Tentu saja”, Aku berkata, “Lantas mengapa kita bersikap merendah pada 
dalam agama kita?”, Abu Bakar berkata, “Wahai Umar, sesungguhnya ia 
adalah utusan Allah, dan tidak akan bermaksiat kepada Tuhannya, dan 
Tuhannya akan menolongnya, maka berpegangteguhlah dengan perintahnya dan
 janganlah menyelisihinya!”. Aku berkata, “Bukankah ia pernah 
mengabarkan kepada kita bahwa kita akan mendatangi ka’bah dan berthowaf 
di ka’bah?”, Abu Bakar berkata, “Tentu saja, namun apakah ia mengabarkan
 kepadamu bahwa engkau akan mendatangi ka’bah tahun ini?”, Aku berkata, 
“Tidak”, Abu Bakar berkata, “Engkau akan mendatangi ka’bah dan akan 
thowaf di sana!”. (HR Al-Bukhari no 2731, 2732, Fathul Bari 5/408-425, 
Umdatul Qori 14/3-14)
Imam Nawawi berkata, “Para ulama berkata 
bahwa bukanlah pertanyaan-pertanyaan Umar kepada Nabi shallallahu 'alihi
 wa sallam di atas karena keraguan, namun karena karena beliau ingin 
mengungkap apa yang ia tidak pahami (kenapa Nabi shallallahu 'alihi wa 
sallam bisa memutuskan demikian –pen) dan untuk memotivasi (Nabi 
shallallahu 'alihi wa sallam dan Abu Bakar) untuk merendahkan 
orang-orang kafir dan memenangkan Islam sebagaimana hal ini merupakan 
akhlak beliau dan semangat dan kekuatan beliau dalam menolong agama dan 
menghinakan para pelaku kebatilan. Adapun jawaban Abu Bakar kepada Umar 
yang seperti jawaban Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, hal ini 
merupakan tanda yang sangat jelas akan tingginya kemuliaan Abu Bakar dan
 dalamnya ilmu beliau serta menunjukan kelebihan beliau di atas para 
sahabat yang lain dalam pengetahuan dan kemantapan ilmu pada seluruh 
perkara tersebut” (Al-Minhaj 12/141, atau cetakan Al-Ma’arif 12/353) 
[10] HR At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir  1/72 dan Al-Bazzar dalam musnadnya 1/254
[11]
 Berkata Al-Muhib At-Thobari, “Hudaibiyah adalah sebuah kampung yang 
letaknya dekat dengan Mekah, dan sebagian besar wilayah Hudaibiyah masuk
 dalam tanah suci haram” (Umdatul Qori 14/6)
[12] HR Al-Bukhari no 3182, Lihat Umdatul Qori 15/104
[13]
 HR Abu Dawud 1/42 dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, dan dihasankan 
oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari. Beliau juga menghasankannya dalam 
bulughul maram, namun beliau mengatakan dalam At-Talkhish “Isnadnya 
shahih”
[14] Majmu’ Fatawa 5/29
[15] Ad-Dzahabi menukil perkataan Imam Malik ini dala As-Siyar 8/99
[16] Siyar A’lam An-Nubala’ 10/34 dan Hilyatul Auliya’ 9/106
[17]
 HR Al-Bukhari no 5479 dan Muslim 1954, Ad-Darimi no 454 (1/407) dan 
lafal ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Battoh dalam 
Al-Ibanah hal 96 (lihat ta’dzimus sunnah hal 24)
[18] Al-Minhaj syarh shahih Muslim 13/106
[19] Fathul Bari 9/753
[20] HR Muslim no 442, Al-Bukhari no 865 namun tanpa ada kisah marahnya Abdullah bin Umar kepada anaknya Bilal
[21] Al-Minhaj syarh Shaihih Muslim 4/384
[22] Fathul Bari 2/450
[23]
 Yaitu perkataan Aisyah لَوْ أَدْرَكَ رَسُوْلُ اللهِ مَا أَحْدَثَ 
النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيْلَ 
“Kalau seandainya Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam menjumpai apa 
yang diperbuat oleh para wanita (di zaman Aisyah sepeninggal Rasulullah 
shallallahu 'alihi wa sallam-pen) maka ia akan melarang mereka 
sebagaimana dilarangnya para wanita dari bani Israil” (HR Al-Bukhari no 
869)
[24] Lihat Musnad Imam Ahmad no 4933
[25] Fathul Bari 2/450
[26] Dikeluarkan oleh Ibnu Battoh di Al-Ibanah no 94
[27] Dikeluarkan  oleh Ibnu Battoh dalam Al-Ibanah no 95
[28] Siyar A’lam An-Nubala (15/485) dan Thobaqoot As-Syafi’iyah karya As-Subki (3/10)
[29] Madarijus Salikin 1/334
[30] Madarijus Salikin 1/334
[31] Al-Wabil As-Soyyib hal 24, dar Ibnul Jauzi
[32]
 HR Ad-Darimi no 206 (1/285). Berkata Pentahqiq, “Isnadnya shahih dan 
atsar ini juga dikeluarkan oleh Ibnu Battoh dalam Al-Ibanah 2/517 no 607
 dan Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam fi Usulil Ahkam 6/1030  dari dua jalan 
keduanya dari Malik bin Migwal”
[33] HR Ad-Darimi no 446 (1/401), berkata pentahqiq :”Isnadnya shohih”
[34] I’lamul Muwaqqi’in 2/201
[35] I’lamul Muwaqqi’in 2/202
[36] Maksudnya adalah haji qiron. Haji qiron juga disebut tamattu’ karena digabungkannya umroh dan haji dalam satu amalan
[37] Jami’ bayan Al-‘Ilmi wa fadlihi 1/129 no 443, Musnad Ahmad no 3121
[38] Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam Kitabut Tauhid.
[39] HR Muslim (Al-Masajid, bab qodho As-Sholat Al-Faitah)
[40]
 HR Ahmad dalam kitab fadhoil As-Shohabah 1/186, di Al-Musnad 5/399, 
Al-Bukhari di Al-Kuna hal 50 dan At-Thirmidzi dalam sunannya 
(Al-Manaqib, bab manaqib Abi Bakr wa Umar), beliau berkata, Hadits 
Hasan”
[41] HR Ahmad dalam Al-Musnad 4/126,127, Abu Dawud 
(As-Sunnah, bab luzumis Sunnah), At-Thirmidzi (Kitabul Ilmu, bab  ما جاء
 في الأَخذ في السنة واجتناب البدعة)
[42] Al-Qaoul Al-Mufid, Syaikh Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi 2/152
[43]
 Berkata Syaikh Al-Albani; “Diriwayatkan oleh At-Thohawi dalam Syarh 
Ma’anil Atsar (1/372 fotokopian maktabah) dan Abu Ya’la pada musnadnya 
(3/1317) dengan isnad yang jayyid (baik), para perawinya tsiqoh” (Sifat 
sholat Nabi hal 54)
[44] Mengisy’ar yiatu memberi tanda kepada 
onta dengan menggores (melukai) salah satu sisi dari dua sisi punuk unta
 hingga mengalir darahnya, yang ini dijadikan sebagai tanda bahwa onta 
ini merupakan hewan hadyu haji. (Tuhfatul Ahwadzi 3/770)
[45] Atsar ini dibawakan oleh Imam At-Thirmidzi dalam sunan beliau di bawah hadits no 906.
[46] Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam Kitabut Tauhid
[47] HR Ad-Darimi no 455 (1/401), berkata pentahqiq ,”Isnadnya hasan karena ada perowi yang bernamaSa’id bin Basyir”
[48]
 Karena kalimat شَيْءٍ adalah nakiroh dalam konteks kalimat syarat maka 
memberikan faedah keumuman (sebagaimana kaedah ini jelas dalam 
kitab-kitab ushul fiqh). Lihat Sittu Duror hal 74, dan Adhwaul Bayan 
1/204
[49] Majmu’ Fatawa 28/471
[50] Mukhtashor Sowa’iq Al-Mursalah 2/353
[51]
 Sebagaimana perkataa Al-Kirkhi dalam bukunya Ar-Risalah fi ushulil 
hanafiyah hal 169-170 (dicetak bersama buku ta’sis an-nadzor, karya 
Ad-Dabbusi): “Semua ayat yang menyelesihi pendapat para sahabat kami 
(penganut madzhab Hanafi) maka ayat tersebut di ta’wil (dipalingkan 
maknanya dari makna yang dzhohir/nampak) atau ayat tersebut sudah 
mansukh. Dan demikian juga halnya dengan seluruh hadits maka dita’wil 
atau mansukh”
[52] Yang lebih menyedihkan lagi adalah kenyataan 
pahit yang nampak di sebagian pendok-pondok pesantren yang ada di 
Indonesia dimana murid-murid pndok pesantren menjadikan perkataan para 
kiyai mereka (yang jelas-jelas kedudukannya jauh di bawah kedudukan para
 imam madzhab) seperti perkataan Nabi. Apalagi jika kiyai tersebut telah
 mendapatkan predikat WALI, maka seluruh perkataannya dibenarkan oleh 
para pengikutnya. Bahkan diantara mereka ada yang mengatakan “Seandainya
 wali fulan menyatakan bahwa langit warnanya merah maka akan saya 
benarkan”???
[53] Ibnu Abidin, dalam hasyiahnya (1/63) dan 
risalah beliau “Rosmul Mufti” (1/4  dari majmu’ah rosail Ibnu Abidin). 
Lihat Sifat sholat Nabi hal 46 (catatan kaki)
[54] Ibnu Abdil 
Barr dalam bukunya “Al-Intiqo’ fi fadhoil Ats-Tsalatsah Al-Aimmah 
Al-Fuqoha’” hal 145, Ibnu Abidin dalam Hasyiahnya terhadap Al-Bahr 
Ar-Roiq (6/293) dan dalam Rosmul Mufti hal 29,32, lebih lengkapnya 
selanjutnya lihat Sifat Sholat Nabi hal 46 (catatan kaki)
[55] Sifat shalat Nabi hal 47
[56] Ibnu Abdilbar dalam Al-Jami’ (2/32)
[57] Lihat takhrij atsar ini dalam shifat sholat Nabi hal 49
[58]
 Muqoddimah Al-Jarh wa At-Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim hal 31-32 dan 
diriwayatkan secara sempurna oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan (1/81)
[59] An-Nawawi dalam Majmu’ (1/63)
[60] An-Nawawi dalam Majmu’ (1/63)
[61] Ibnu Asakir, dalam tarikh Dimasq dengan sanad yang shahih 15/10/1
[62] Ibnu Abi Hatim hal 93-94
[63] Ibnul Qoyyim, I’lamul Muwaqqi’in (2/302)
[64] Ibnu Abdilbar di “Al-Jami’” (2/149)
[65] Sifat shalat Nabi hal 53-54
sumber : http://www.firanda.com/index.php/artikel/aqidah/110-bukti-bukti-cinta-kepada-nabi-shallallahu-alihi-wa-sallam