Dia yakin papa-mama akan menerima kami. Sebelum harapan terpenuhi,
musibah mulai datang ….
Suatu hari suamiku pulang lebih awal karena merasa nggak enak badan,
seperti masuk angin. Aku menyuruhnya segera istirahat, tidur dan memberi obat
penghilang sakit. Malamnya tubuh panas menggigil. Keesokannya aku bawa ke
dokter dan dikatakan hanya demam biasa sehingga hanya diberi obat penurun
panas. Tapi malamnya tubuh tetap panas, menggigil dan mengigau. Dia menolak
untuk dibawa ke RS bilangnya demam biasa.
Hari ke-4 kondisinya parah dan pingsan, dari hidung keluar darah. Di
RS Hasil periksa darah, trombosit tinggal 26.000 normalnya diatas
150.000. Suamiku kena demam berdarah, Dokter menyalahkan kenapa tak segera
dibawa ke RS lebih awal, karena serangan terberatnya di hari 5. Kalau kondisi
tidak kuat, amat berbahaya.
Hari ke 5 makin parah, napasnya berat, trombositnya tidak naik. Malam itu
setengah mengigau, dia memanggilku, aku genggam tangannya, aku dekati telingaku
ke mulutnya, aku dengar dia coba ucapkan sesuatu. Air matanya meleleh. Dia
ucapkan “Maafkan aku” Aku tenangkan dia, kalau tidak ada yang perlu dimaafkan.
Aku ikhlas mendampinginya. Setelah mendengar kata_kataku dia tenang, dengan 1
tarikan napas dia ucapkan “La ilaaha illa llaah” lalu meninggal dalam
pelukanku.
Aku ingat ucapannya, jika Allah izinkan, dia ingin meninggal di pelukanku. Aku memarahi dia, jangan bilang seperti itu. Tapi dia serius, kalau dia tak sanggup kalau aku meninggalkannya. Ternyata Allah kabulkan. Orang yang aku jadikan sandaran hidup telah pergi. Tidak terkira sedih hatiku. Andai tidak ingat anakku, aku ingin menyusul Mas Fariz.
Mas Fariz jujur dan baik, seluruh rekan kerjanya dan big boss hadir
melayat. Kantor memberi santunan 4x gaji, ditambah uang duka. Aku ditawari
kerja di perusahaan tersebut. Tapi aku rasa setengah nyawaku hilang. Selama 3
bulan berduka, aku tidak sanggup melakukan apapun.
Sementara aku di rumah mertua agar Faisal ada yang mengasuh. Rumah dan
motor dijual, karena tidak sanggup kubayangkan kenangan Mas Fariz. Hampir
setengah tahun di rumah mertua, aku putuskan kembali ke kota asalku. Sebenarnya
ibu mertua amat baik dan penyayang. Tapi aku tahu diri tidak mungkin
bergantung ke siapapun. Aku harus mandiri demi anakku satu-satunya.
Di kota asalku aku mengontrak rumah dan membuka toko kecil. Mungkin
karena masih berduka dan terbayang suami hingga kurang mikirkan usahaakhirnya
bangkrut. Uang habis untuk membayar tagihan suplier.
Aku sebenarnya tidak pernah putus asa apapun aku jalani asal halal.
Pernah jadi pelayan restoran beberapa bulan dan berhenti karena anakku tak ada
yang menjaga. Akhirnya aku kehabisan uang tak sanggup bayar kontrakan. Dengan
koper isi pakaian dan menggendong anakku berjalan tanpa tujuan. Aku bingung
akan kemana. Pernah terlintas di benakku untuk kembali ke keluargaku. Tapi
dengan kondisi ini mereka pasti merasa menang, tertawa terbahak dan mengejekku
seumur hidupku bahwa aku gagal memilih jalan hidup.
Dibawah Naungan Islam
Ditengah perasaan putus asa, kuteringat masjid tempat aku pertama kali
mengucapkan kalimat syahadat. Masjid itu bukan Masjid Raya di kota kami, tapi
masjid tua bersejarah, maka banyak jemaah berziarah. Aku berpikir, dulu aku
memulainya dari masjid itu, sehingga kalaupun jalan hidupku berakhir aku ingin
di masjid itu pula. Aku datangi masjid tersebut Dan aku shalat mohon petunjuk.
Anakku kelelahan tertidur di sampingku.
Aku tidak punya uang untuk membeli makanan dan hanya bisa menangis.
Rupanya tangisku didengar seorang bapak dan beliaulah imam masjid tersebut dan
dia pula yang dulu membimbing aku membaca syahadat. Aku tidak lupa dengan
wajahnya tetapi dia pasti tidak ingat, karena wajahku tidak sesegar dulu lagi. Sewaktu
aku perkenalkan diriku dan aku katakan bahwa aku dulu mualaf yang beliau
bimbing, dia langsung ingat tapi juga kaget dengan kondisiku seperti ini.
Akhirnya aku ceritakan semuanya pada beliau, sebab aku merasa tidak ada
lagi orang di dunia ini yang aku jadikan sandaran hidupku.
Setelah mendengar kisahku dia menyuruhku jangan pergi – tetap tinggal di
masjid. Beliau menyuruh seorang jemaah membelikan makanan untuk aku dan anakku.
Sebentar kemudian dia meninggalkan aku sambil berpesan akan segera kembali
(rupanya dia mencari tempat untuk aku tinggali). Tidak lama beliau kembali.
Sambil tersenyum dia katakan, mulai malam ini aku memperoleh tempat tinggal.
Aku diajak ke belakang masjid disitu ada bangunan tambahan terdiri beberapa
ruangan. Biasa dipakai untuk gudang peralatan masjid, seperti tikar,
kursi dan lainnya. Salah satu ruang tampak sudah kosong. Dia menunjuk bahwa
itulah rumahku. Aku boleh menempati selama mungkin aku mau.
Ruang sebelahnya ditempati Pak Tua penjaga masjid, sehingga aku ada yang
menemani. Ruangan itu berukuran kurang lebih 2x2m. Pak Imam masjid menambahkan,
aku diberi honor sekedarnya jika mau membantu membersihkan masjid, sehingga
cukup untuk makan. Beliau tambahkan kalau aku bisa datang ke rumahnya sekedar
membantu istrinya memasak. Rumah beliau hanya beberapa ratus meter dari masjid.
Alhamdulillah, aku amat bersyukur ternyata Allah mendengar doaku. Aku
ingat, bahwa Allah tidak akan menguji hambanya melebihi beban yang sanggup dia
pikul. Aku bersyukur memperoleh tempat berteduh, walau hanya kamar kecil (jauh
lebih kecil dibanding kamar mandi saat di rumah orangtuaku). Ada lagi yang
membuatku tenang yaitu aku tinggal dekat rumah Allah, setiap merasa sedih, aku
tinggal masuk masjid mengadukan langsung pada Allah. Karena tinggal dekat
masjid otomatis shalatku tidak pernah terlewatkan sekalipun.
Alhamdulillah, hidupku sedikit demi sedikit mulai tenang. Aku sering
membantu istri Pak Imam memasak di rumahnya. Imbalannya beliau selalu membekali
makanan untuk aku bawa pulang. Sehingga aku tidak perlu risau memikirkan
makanan harian. Kalau Pak Imam sekeluarga ada keperluan keluar kota, akulah
yang dititipi menjaga rumahnya dan bisa tinggal di rumahnya. Sebenarnya mereka
menawarkanku tinggal bersama mereka. Tapi aku tahu diri tidak mau terus menerus
merepotkan orang lain.
Pekerjaanku setiap hari membersihkan halaman masjid, membersihkan kaca
jendela, Sedangkan Pak Tua mengepel lantai masjid. Tiap minggu aku mendapatkan
honor sekedarnya dari hasil kotak amal, tapi kadang aku tidak mendapatkan
sepeserpun, karena kadang sudah habis untuk keperluan masjid, tapi aku lakukan
itu dengan senang hati dan ikhlas. Sementara ini aku benar-benar ingin mengabdi
pada Masjid ini – sebagai tanda terimakasih. Aku tidak mau bersusah-payah
mencari pekerjaan. Aku percaya kelak masjid ini akan memberi jalan memperoleh
pekerjaan.
Kadang pada malam hari aku duduk di teras masjid, mengobrol dengan Pak
Tua. Dia bercerita, anak-anaknya ada di kampong, tapi dia tak mau
merepotkannya. Selama masih kuat, dia tak mau merepotkan orang lain. Lalu saat
giliran aku bercerita, kadang aku bingung harus cerita apa…???
Apa aku ceritakan kalau dulu aku pernah naik kapal pesiar keliling EROPA,
tidur di hotel mewah di LAS VEGAS atau saat kuliah punya apartment mewah di
Australia …Ahh! Pasti dia tertawa menganggap aku berkhayal. Jangankan
tidur di hotel, uang yang aku punya tidak lebih dari Rp 20.000,-
Dulu tiap minggu aku bisa beli peralatan makeup, eye-shadow, lipstick
jutaan rupiah. Kini makeup aku air wudhu sebelum shalat. Tapi justru banyak
yang mengatakan wajahku tetap bersih, cantik alami. Kadang orang berpikir aku
masih memakai makeup. Yah…! mungkin Allah yang memakaikannya. Kecantikan dari
dalam “Inner Beauty” Banyak yang bilang dengan mata sipit dibalik
kerudung, aku terlihat cantik.
Tanpa terasa hampir 2 tahun aku menetap disini, anakku sudah sekolah SD
dekat masjid milik yayasan dan tanpa membayar sepeserpun. Aku hanya membeli
seragam dan alat sekolah. Bahagianya hati melihat anak aku masuk sekolah…ohh!
seandainya mas Fariz masih ada dan melihat anak kita di hari pertama sekolah.
Anakku rupanya tumbuh besar dalam keprihatinan sehingga sangat tahu diri.
Tak pernah sekalipun merengek minta dibelikan ini itu seperti layaknya anak
lain. Pernah hatiku amat pilu. Ketika dia pulang sekolah dengan kaki telanjang
sambil menenteng sepatunya. Sambil tertawa, tanpa mengeluh, dia justru
menunjukkan sepatunya.
“Ma, sepatu Faisal sudah minta makan” Sepatunya robek depannya, seperti
mulut minta makan. Melihat dia tertawa, aku ikutan tertawa, walau hati ingin
menangis. Andai dia tahu dulu mama selalu memakai sepatu harga jutaan. kini,
membelikan sepatu anakku yang murah aku belum sanggup. Alhasil selama 2 hari
anakku ke sekolah memakai sepatu robek, hingga aku belikan sepatu bekas layak
pakai.
Aku bersyukur punya anak amat tahu diri. Tidak mau membebani ibunya. Anak
saleh akan menjadi bekal amat bernilai buat orangtua. Pak Imam masjid kadang
menengok dan menanyakan keadaan kami. Dia sering cerita, bagaimana istri
Muhammad SAW hidup jauh lebih menderita, tapi tetap tabah. Beliau bilang,
aku pasti akan menjadi ahli surga. Berulangkali dia katakan, orang lain tidak
akan sanggup menghadapi cobaan ini, tapi aku tetap bertahan memegang keyakinan,
meninggalkan kenikmatan dunia yang justru pernah kuperoleh.
Suatu siang, aku melihat mobil datang ke halaman masjid. Dari dalam mobil
keluar 2 orang yang aku kenal. Yang satu Tante Grace, satunya Oom Albert.
Mereka lawyer perusahaan dan keluarga kami. Entah bagaimana mereka bisa
mengetahui aku ada disini. Mereka membawa sebundel amplop, mengajak aku
berbicara. Aku lihat mata Tante Grace memerah menahan airmata saat
melihat tempat aku tinggal. Bahkan Oom Albert suara bergetar, lehernya tersekat
menahan sedih. Mereka diutus orangtua aku. Karena orangtuaku sudah tahu
bagaimana keadaan aku sekarang. Mereka katakan dalam amplop isinya surat bank,
ATM, Ijasahku yang bisa aku miliki lagi. Bahkan aku dijemput pulang ke rumah
mama-papaku.
Sejenak aku bahagia, kupikir orangtuaku terbuka hatinya, aku bisa pakai
uang yang banyak untuk hidup lebih baik. Tapi dengan terpatah-patah Oom Albert
melanjutkan, mama-papa memberi syarat. Saat kutanyakan syaratnya.
Keduanya nyaris tidak sanggup melanjutkan.
Tante Grace makin menunduk menahan tangis. Akhirnya oom Albert mengatakan
syaratnya aku dan anakku harus kembali ke keyakinan lama. Saat itu juga aku
langsung menjawab, kalau aku tidak mau menerima amplop itu dan aku katakan agar
dikembalikan ke papa. Keduanya amat sangat minta maaf padaku, karena mereka
tahu aku tersinggung. Tapi aku juga sadar keduanya hanya menjalankan tugas.
Bahkan Tante Grace katakan, andai mengikuti nurani pasti mereka serahkan itu
amplop padaku tanpa syarat apapun, tapi mereka terikat profesi.
Keduanya pamit. Tapi tidak lama kemudian kembali lagi, aku pikir ingin
membujuk. Rupanya mereka berinisiatif fotocopi ijasah dan menyerahkan copy-nya
padaku. Mereka inisiatif sendiri resikonya kehilangan pekerjaan. Mereka
bilang hanya itu yang bisa mereka lakukan untukku.
Alhamdulillah. Sedikit demi sedikit Allah memberi jalan untukku.
Akhirnya aku punya bukti kalau aku pernah sekolah tinggi meraih Master bidang
keuangan (finance) di luar negeri.
True Happiness
Rupanya Allah cukup menguji dan memberi rewards atas ketabahanku.
Suatu pagi 2 orang mengamati bangunan masjid, wanita kulit
putih dan lokal. Pak Tua ada di halaman Masjid, maka mereka menghampiri.
Masjid kami memang unik, bangunan tua dengan arsitektur Melayu Kuno dan sering
dikunjungi. Biasanya Pak Tua menjadi juru-bicara karena dia paling tahu sejarah
masjid. Aku banyak mendapat cerita dari Pak Tua sehingga aku tahu sejarah
masjid kami.
Dari jauh tampak keduanya mengobrol dengan Pak tua, sampai akhirnya
kulihat si Kulit Putih kebingungan. Akupun menghampiri dan dengan sopan
memperkenalkan diri serta menawarkan bantuan.
Ternyata dia mahasiswi Arsitektur dari Australia dan ditemani mahasiswi
Arsitektur universitas T di kotaku sebagai penterjemah (panggil saja Retno).
Rupanya bahasa Inggris Retno kurang lancar hingga si Bule kebingungan mendengar
terjemahan cerita Pak Tua. Dengan sopan aku mengajukan diri membantu si Bule.
Dengan bahasa inggris sangat lancar, aku ceritakan semua hal tentang
masjid. Aku ajak berkeliling ke tiap sudutnya. Si Bule bertambah takjub saat
kukatakan pernah study di negerinya. Retno terus memandangiku setengah tak
percaya. Setelah puas mendapat informasi, sebelum pulang Retno berjanji
menemuiku segera, ingin menanyakan banyak hal tentang diriku. Dengan
senang-hati akan kuterima kedatangannya kapan saja.
Beberapa hari kemudian Retno menemuiku. Dia amat ingin tahu siapa
diriku. Aku ceritakan semua perjalanan hidupku sampai saat ini. Dia amat
bersimpati dan ingin menolong. Walau tak mengharap pertolongan orang lain, tapi
kuhargai niatnya. Dia bilang dengan pendidikan dan kemahiran bahasa asing akan
mudah mendapat pekerjaan, apalagi ada copy ijasah. Seminggu kemudian dia datang
membawa kertas dan amplop, menyuruh membuat surat lamaran.
Informasinya Rektorat memerlukan tenaga honorer. Aku terharu ada orang
peduli mau membantu tanpa pamrih, aku ucapkan banyak terimakasih padanya.
Bagiku dia seperti diutus Allah untuk menolongku. Tidak lama kemudian aku
mendapat kabar gembira, aku dipanggil ke Rektorat untuk test dan wawancara.
Sebelum berangkat aku shalat memohon kepada Allah agar diberi kelancaran.
Anakku aku titipkan pada Pak Tua yang kuanggap sebagai orangtua sendiri.
Alhamdulillah, test berjalan lancar. Saat wawancara justru Bahasa
Inggris lebih aku kuasai dibanding pewawancara. Dia bilang English-ku perfect.
Beberapa hari kemudian dia datang dan tampak gembira sekali, katanya
dalam beberapa hari aku akan mendapat surat dari Rektorat yang isinya
diterimanya aku sebagai honorer. Dia tahu informasi karena temannya
bekerja disana. Aku segera menuju masjid dan bersujud syukur lama sekali.
Kurasa aku lulus semua test yang diujikan Allah. Sering aku bertanya pada
Allah, apakah karena aku mualaf sehingga Allah kurang percaya pada keimananku
hingga perlu diuji dengan ujian amat berat.
Walau hanya honorer aku sangat bersyukur, yang penting aku memperoleh penghasilan layak. Pekerjaan membantu Bagian Keuangan di Rektorat, memang sesuai dengan ilmuku. Mulai banyak yang tahu kalau aku lulusan luar negeri. Setiap seminar yang memerlukan makalah bahasa Inggris pasti aku yang diberi tugas penyusun makalah.
Walau hanya honorer aku sangat bersyukur, yang penting aku memperoleh penghasilan layak. Pekerjaan membantu Bagian Keuangan di Rektorat, memang sesuai dengan ilmuku. Mulai banyak yang tahu kalau aku lulusan luar negeri. Setiap seminar yang memerlukan makalah bahasa Inggris pasti aku yang diberi tugas penyusun makalah.
Aku banyak membantu penterjemahan litelatur asing untuk mahasiswa. Nyaris
3 tahun terakhir, aku tidak pernah membeli baju baru. Dengan gaji sekarang aku
bisa membelinya. Aku amat sangat senang bukan main, bisa membelikan pakaian
anak. Bahagia melihat anak berpakaian layak. Pakaian sekolahnya sudah
menguning, kini aku beli yang baru, putih bersih dan sepatu baru. Sepatu
lamanya robek dan kusimpan sebagai kenangan.
Tak lama kemudian aku mengontrak rumah. Sebelum aku meninggalkan
Masjid tak lupa pamitan ke rumah Pak Imam mengucapkan terimakasih atas
pertolongannya, beliau katakan yang menolong bukan dia tapi Allah yang
menolongku. Aku memeluk dia lama sekali. Aku katakan dahulu aku ucapkan
syahadat di depannya dan aku tak akan pernah mengingkarinya seumur hidupku,
apapun yang terjadi.
Sebelum pergi kupandangi kamarku untuk terakhir kali, sempat beberapa
menit tertegun, membayangkan, mungkin kelak ruangan ini dipakai oleh orang yang
senasib seperti aku…..
Aku harap Semoga
Allah memberinya kekuatan….
Setelah melewati segala cobaan, Allah terus-menerus memberi semacam
rewards, belum setahun bekerja, Rektorat memberi kabar statusku menjadi
karyawan tetap. Beberapa dosen senior menawari posisi asisten dosen. Rekan
kerja mengatakan karirku amat bagus. Orang berkualifikasi sepertiku amat
dibutuhkan. Mereka bilang kesuksesan hanya menunggu waktu.
Aku hanya mengucap Alhamdulillah. Dahulu aku sering berdoa dengan linangan
airmata kesedihan, sekarang sering menangis saat berdoa, tapi kali ini aku
menangis bahagia. Sampai saat ini aku sendirian, aku bertekad membesarkan anak
sebaik-baiknya. Aku masih merasa istrinya mas Fariz. Seperti yang aku pernah
katakan, dia bukan hanya suami, tapi soulmate dan tidak tergantikan. Tetapi
entah kalau Allah mempunyai rencana lain. Tiap memandang anakku, aku seperti
melihat mas Fariz. Seolah dia masih mendampingiku.
Alhamdulillah! kini aku mampu membeli motor. Di akhir pekan aku sering
berboncengan dengan anakku jalan-jalan atau sengaja lewat di depan rumah
orangtuaku, sambil aku katakan bahwa itu rumah opa-oma. Sering anakku bertanya,
“Ma kapan kita pergi ke rumah oma-opa? ” Aku tersekat tak bisa menjawab sebab
menahan airmata. Aku terus berdoa, semoga suatu saat kelak orangtuaku
dibukakan hatinya, jika tak mau menerimaku lagi, mohon diterima anakku – cucu
mereka.
Wassalam,
Mawar.
Catatan sumber:
Ada beberapa petunjuk penting. Disebutkan kisah terjadi di kota P dan akhirnya bekerja di Universitas T tempat Retno (penulis kisah ini) kuliah di Fakultas Arsitektur. P bisa jadi:
1. Pontianak ada Universitas T (Tanjungpura). Populasi melayu besar pendukung kesultanan sejak 3 abad lalu menyisakan Masjid Melayu Kuno – tempat tinggal Mawar. Pertanyaannya : Apakah Universitas Tanjungpura ada Fakultas Arsitektur sebelum tahun 2006? Ya, ada. Dibuka tahun 2003 http://kampusbagus.com/s1-arsitektur-universitas-tanjungpura/
2. Palembang – ada beberapa Masjid arsitektur Melayu Kuno peninggalan kesultanan Melayu Palembang. Dan ada Universitas Tridinanti dengan Jurusan Arsitektur yang mendapat izin penyelenggaraan th 2005. No. 2629/D/T/2005 tanggal 10 Maret 2005 tentang ijin penyelenggara Program Studi Arsitektur.
Sumber: http://yusufzulkarnain.blogspot.com/2011/03/kisah-cinta-sejati-muallaf-china.html
Posting Komentar
hampir semua postingan ini merupakan hasil copy paste dari blog lain. namun kami sertakan link rujukan asli tulisan tersebut. jika ada yang keberatan mohon konfirmasinya. kami akan segera menghapus postingan tersebut