1. Membenarkan kabar yang disampaikan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu 'alihi wa sallamDiantara
keimanan yang sangat urgen adalah meyakini bahwa Nabi shallallahu
'alihi wa sallam ma’sum (terjaga) dari kedustaan dan kebohongan, yang
konsekuensi dari hari hal ini adalah pembenaran kepada semua yang
dikabarkan oleh Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, baik khabar berita
tentang masa silam, masa sekarang, ataupun berita di masa mendatang.
Allah berfirman;
﴿وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَىمَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى﴾ (لنجم:1-4)
Demi
bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak
keliru, Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya). (QS. 53:1-4)
﴿وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ
وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ﴾ (الحشر: من الآية7)
Apa yang datang dari Rasul
kepada kalian maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat
keras hukuman-Nya. (QS. 59:7)
Lihatlah kepada derajat yang sangat
tinggi yang diraih oleh Abu Bakar As-Siddiq yang beriman kepada Nabi
shallallahu 'alihi wa sallam dengan keimanan yang sesungguhnya.Ia
membenarkan seluruh perkataan dengan tanpa keraguan sedikitpun.
عن عائشة رضي الله عنها قالت ثم لما
أسري بالنبي صلى الله عليه وسلم إلى المسجد الأقصى أصبح يتحدث الناس بذلك
فارتد ناس ممن كان آمنوا به وصدقوه وسعى رجال من المشركين إلى أبي بكر رضي
الله عنه فقالوا هل لك إلى صاحبك يزعم أنه أسري به الليلة إلى بيت
المقدس قال أو قال ذلك قالوا نعم قال لئن قال ذلك لقد صدق قالوا أو تصدقه
أنه ذهب الليلة إلى بيت المقدس وجاء قبل أن يصبح فقال نعم إني لأصدقه ما
هو أبعد من ذلك أصدقه في خبر السماء في غدوة أو روحة فلذلك سمي أبا بكر
الصديق رضي الله عنه
Dari ‘Aisyah, beliau berkata, “Tatkala Nabi
shallallahu 'alihi wa sallam isro’ (dijalankan oleh Allah) menuju ke
Masjdil Aqsho, maka dipagi harinya orang-orang membicarakan hal itu.
Orang-orang yang tadinya beriman kepada Nabi shallallahu 'alihi wa
sallam dan membenarkannya murtad (keluar dari Islam). Beberapa orang
dari kaum musyrikin menemui Abu Bakar dan berkata kepadanya, “Tidakkah
engkau menemui sahabatmu (yaitu Rasulullah), dia menyangka bahwa dirinya
tadi malam dijalankan ke Baitul Maqdis (Masjidil Aqsho)?”. Abu Bakar
berkata, “Apakah dia mengatakan demikian?”, mereka berkata, “Iya”. Abu
Bakar berkata, “Jika ia memang mengatakan demikian maka dia telah
jujur!”. Mereka berkata, “Apakah engkau membenarkan perkataannya bahwa
dia tadi malam pergi ke Baitul Maqdis kemudian tiba kembali (ke Mekah)
sebelum subuh?”, Abu Bakar berkata, “Iya, (bahkan) saya membenarkannya
pada perkara yang lebih (aneh) dari pada perkara ini. Saya
membenarkannya tentang berita yang ia terima dari langit di pagi hari
atau di sore hari”. Oleh karena itu Abu Bakar dinamakan As-Siddhiq (yang
selalu membenarkan)”[1]
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال صلى رسول
الله صلى الله عليه وسلم صلاة الصبح ثم أقبل على الناس فقال بينا رجل
يسوق بقرة إذ ركبها فضربها فقالت إنا لم نخلق لهذا إنما خلقنا للحرث
فقال الناس سبحان الله بقرة تكلم فقال فإني أومن بهذا أنا وأبو بكر وعمر
وما هما ثم وبينما رجل في غنمه إذ عدا الذئب فذهب منها بشاة فطلب حتى
كأنه استنقذها منه فقال له الذئب هذا استنقذتها مني فمن لها يوم
السَّبُعِ يوم لا راعيَ لها غيري فقال الناس سبحان الله ذئب يتكلم قال فإني
أومن بهذا أنا وأبو بكر وعمر وما هما ثَمَّ
Dari Abu Hurairoh
berkata, “Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam sholat subuh kemudian
beliau menghadap para jemaah sholat lalu berkata, “Tatkala seseorang
menggembala seekor sapi, kemudian diapun menunggangi sapi tersebut dan
memukul sapi tersebut. Sapi itupun berkata, “Sesungguhnya aku tidaklah
diciptakan untuk ini (untuk ditunggangi), namun aku hanyalah diciptakan
untuk membajak.” Orang-orangpun berkata, “Maha suci Allah, sapi
berbicara??”. Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata,
“Sesungguhnya aku beriman terhadap hal ini, demikian juga Abu Bakar dan
Umar beriman.” Berkata Abu Hurairah, “Dan tatkala itu Abu Bakar dan Umar
sedang tidak ada (tidak bersama mereka sholat subuh-pen)”. Rasulullah
shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Dan tatkala seorang penggembala
sedang menggembalakan kambing-kambingnya tiba-tiba datang serigala dan
membawa lari seekor kambingnya. Maka sang penggembalapun mengejar
serigala tersebut dan sepertinya dia berhasil membebaskan kambing
tersebut dari cengkraman serigala. Sang serigala tersebut berkata kepada
sipenggembala, “Engkau telah membebaskan kambing itu dariku, maka
siapakah yang akan menunggui (memperhatikan) kambing ini selain aku pada
hari dimana singa datang mengambil kambing ini?[2]” Orang-orangpun
berkata, “Maha suci Allah, serigala berbicara?”, Nabi shallallahu 'alihi
wa sallam berkata, “Sesungguhnya aku beriman terhadap hal ini, demikian
juga Abu Bakar dan Umar beriman”. Berkata Abu Hurairah, “Tatkala itu
Abu Bakar dan Umar sedang tidak hadir”[3]
Berkata Ibnu Hajar,
“Kemungkinan Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam mengatakan demikian
(padahal Abu Bakar dan Umar tatkala itu tidak hadir-pen) karena
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam tahu akan besarnya keimanan
mereka berdua dan kuatnya keyakinan mereka”[4]. Beliau juga berkata,
“…Dan kemungkinan juga beliau berkata demikian karena mereka berdua akan
membenarkan khabar tersebut jika mereka mendengarnya dengan tanpa
keraguan”[5]
Coba seandainya kita sampaikan hadits ini kepada
orang-orang yang mengagungkan akal mereka, tentu kita akan dapati banyak
diantara mereka yang menolak hadits ini. Mungkin diantara mereka akan
ada yang berkata “Bagaimana hewan bisa berbicara?, mana akalnya?”,
ataupun diantara mereka ada yang mengatakan “Hadits ini lemah karena
tidak masuk akal, meskipun dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari!!.”[6]
Padahal
Allah mampu untuk melakukan semuanya, jangankan hewan yang masih
memiliki otak dan lisan bahkan tangan dan kakipun serta kulit yang tidak
berotak dan tidak berlisan akan berbicara pada hari kiamat sebagaimana
firman Allah:
﴿الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ﴾ (يّـس:65)
“Pada
hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan
mereka dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka
usahakan.” (QS. 36:65)
﴿وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ
عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللَّهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ
وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ﴾ (فصلت:21)
Dan mereka berkata kepada kulit mereka:"Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami"
Kulit mereka menjawab:"Allah yang telah menjadikan segala sesuatu
pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah
yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nyalah
kamu dikembalikan". (QS. 41:21)
Apakah mereka menolak ayat-ayat ini karena menurut mereka tidak masuk akal??
Berkata
Ibnul Qoyyim, “Maka adab yang paling tertinggi terhadap Rasulullah
shallallahu 'alihi wa sallam adalah pasrah menerima apa yang datang dari
Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, mematuhi dan menjalankan
perintahnya, menerima dan membenarkan berita yang datang dari
Nabi shallallahu 'alihi wa sallam tanpa mempertentangkannya dengan
khayalan yang batil yang dinamakan “masuk akal” atau menolaknya karena
syubhat atau ragu atau mendahulukan pendapat orang-orang dan
kotoran-kotoran otak mereka diatas berita yang datang dari Nabi
shallallahu 'alihi wa sallam…”[7]
Di zaman sekarang ini
banyak orang yang menolak hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam
dengan alasan bertentangan dengan akal. Apakah mereka lupa bahwa Nabi
shallallahu 'alihi wa sallam tidaklah berbicara kecuali dengan bimbingan
Allah?? Apakah akal mereka yang lemah itu hendak mereka gunakan untuk
menimbang kebenaran berita yang datang dari Nabi shallallahu 'alihi wa
sallam??.
Penolakan terhadap hadits-hadits Nabi shallallahu
'alihi wa sallam semakin banyak jika hadits-hadits tersebut berkaitan
dengan perkara-perkara goib. Mereka yang menentang hadits-hadits Nabi
tersebut mengukur kebenaran hadits Nabi shallallahu 'alihi wa sallam
dengan akal mereka yang lemah. Mereka mengqiaskan (mengukur) perkara
yang ghoib dengan hal-hal yang mereka lihat di alam nyata. Tentunya ini
adalah kesalahan yang sangat fatal karena akal yang sehatpun tidak
menerima bahwa alam ghaib disamakan dengan alam nyata. Inilah yang telah
menimpa para pendahulu mereka dari kalangan orang-orang musyrik yang
menolak dengan akal mereka berita isro’nya Nabi shallallahu 'alihi wa
sallam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsho dalam satu malam.
Demikianlah syaitan senantiasa menggelincirkan umat ini dari jalan
kebenaran.
Lihatlah perkataan Umar bin Al-Khottob yang telah
dijamin masuk surga, yang syaitan tidak berani bertemu dengannya, yang
telah diberi oleh Allah kecerdasan dan ilmu yang tinggi, lihatlah
perkataan beliau:
قال يا أيها الناس اتهموا الرأي على الدين فلقد
رأيتني أرد أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم برأيي اجتهادا فوالله ما
آلو عن الحق وذلك يوم أبي جندل والكتاب بين رسول الله صلى الله عليه وسلم
وأهل مكة فقال اكتبوا بسم الله الرحمن الرحيم فقالوا ترانا قد صدقناك بما
تقول ولكنك تكتب باسمك اللهم فرضي رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبيت
حتى قال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم تراني أرضى وتأبى أنت قال فرضيت
“Wahai
manusia sekalian, curigailah pemikiran kalian dalam permasalahan
agama[8]. Sungguh aku telah membantah perintah Rasulullah shallallahu
'alihi wa sallam dengan pendapatku (pemikiranku) karena aku berijtihad.
Demi Allah aku bersungguh-sungguh (berijtihad dengan pemikiranku itu)
untuk menuju kepada kebenaran. Hal itu terjadi pada waktu kejadian Abu
Jandal[9], tatkala buku di antara Rasulullah shallallahu 'alihi wa
sallam dan penduduk Mekah (yaitu orang-orang musyrik), lalu Rasulullah
shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Tulislah
Bismillahirrohmanirrahim!”, mereka berkata, “Apakah engkau mengira kami
telah membenarkan engkau (adalah utusan Allah)?, tapi engkau tulis saja
“Bismikallahumma”. Lalu Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam rela
dengan hal itu, adapun aku tidak setuju, hingga Rasulullah shallallahu
'alihi wa sallam berkata kepadaku “Engkau melihat aku telah ridha
(setuju) lantas engkau enggan?”. Umar berkata, “Maka akupun rela”[10]
Ungkapan seperti ini juga diucapkan oleh para sahabat yang lain, diantaranya Sahl bin Hunaif, beliau berkata:
أيها
الناس اتهموا أنفسكم فإنا كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم
الحديبية ولو نرى قتالا لقاتلنا فجاء عمر بن الخطاب فقال يا رسول الله
ألسنا على الحق وهم على الباطل فقال بلى فقال أليس قتلانا في الجنة وقتلاهم
في النار قال بلى قال فعلام نعطي الدنية في ديننا أنرجع ولما يحكم الله
بيننا وبينهم فقال يا بن الخطاب إني رسول الله ولن يضيعني الله أبدا فانطلق
عمر إلى أبي بكر فقال له مثل ما قال للنبي صلى الله عليه وسلم فقال إنه
رسول الله ولن يضيعه الله أبدا فنزلت سورة الفتح فقرأها رسول الله صلى
الله عليه وسلم على عمر إلى آخرها فقال عمر يا رسول الله أو فتح هو قال
نعم
“Wahai manusia sekalian, curigailah diri kalian,
sesungguhnya kami bersama Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam pada
waktu terjadi perjanjian Hudaibiyah[11] dan jika menurut kami adalah
berperang maka kami akan berperang. Lalu datanglah Umar bin Al-Khottob
dan berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah kita berada di atas kebenaran
dan mereka berada di atas kebatilan?”, Rasulullah shallallahu 'alihi wa
sallam menjawab, “Tentu saja”. Umar berkata, “Bukankah orang-orang yang
terbunuh diantara kita (jika kita memerangi mereka) masuk surga dan
orang-orang yang terbunuh dari mereka masuk neraka?”, Rasulullah
shallallahu 'alihi wa sallam menjawab, “Tentu saja”. Umar berkata, “Jika
demikian, lantas mengapa kita bersikap merendah pada agama kita?,
apakah kita kembali ke Madinah padahal Allah belum memutuskan perkara
antara kita dengan mereka?”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata,
“Wahai Ibnul Khottob, sesungguhnya aku adalah utusan Allah, dan Allah
tidak akan menyia-nyiakan aku selamanya”. Lalu Umar pergi ke Abu Bakar
dan ia berkata kepadanya apa yang telah dikatakannya kepada Nabi
shallallahu 'alihi wa sallam, Abu Bakarpun berkata kepaanya,
“Sesungguhnya ia adalah utusan Allah dan Allah tidak akan
menyia-nyiakannya selamanya”. Lalu turunlah surat Al-Fath dan Rasulullah
shallallahu 'alihi wa sallam membacakannya kepada Umar hingga akhir
surat, lalu berkata Umar, “Wahai Rasulullah, apa itu adalah Al-Fath
(kemenangan kita di Mekah kelak)?”, Nabi shallallahu 'alihi wa sallam
menjawab, “Iya”[12]
Ali bin Abi Tholib berkata,
لو كان الدين بالرأي لكان أسفل الخف أولى بالمسح من أعلاه وقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يمسح على ظاهر خفيه
“Jika
seandainya agama itu (hanya sekedar) bersandar dengan akal maka bagian
bawah khuf lebih utama untuk diusap (tatkala wudlu-pen) daripada bagian
atas khuf. Sungguh aku telah melihat Rasulullah shallallahu 'alihi wa
sallam mengusap bagian atas kedua khufnya”[13]
Sungguh indah perkataan Ibnu Taimiyah[14],
فيا
ليت شعرى بأي عقل يوزن الكتاب والسنة فرضى الله عن الإمام مالك بن أنس حيث
قال أو كلما جاءنا رجل أجدل من رجل تركنا ما جاء به جبريل الى محمد لجدل
هؤلاء
“Seandainya saya tahu dengan dengan akal siapakah hendak
ditimbang Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam?,
Semoga Allah meridhai Imam Malik bin Anas tatkala beliau berkata,
“Apakah setiap datang orang yang lebih pandai bedebat daripada orang
yang lain lantas kita tinggalkan apa yang diturunkan Jibril kepada Nabi
Muhammad shallallahu 'alihi wa sallam karena kepandaian debat
mereka??”[15]
2. Mengagungkan hadits-hadits Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan tidak menentangnya dengan pendapat sendiri
Diantara
bukti yang paling kuat yang menunjukkan kecintaan seseorang kepada Nabi
shallallahu 'alihi wa sallam yaitu pengagungan terhadap sabda-sabda dan
wejangan-wejangan beliau dan tidak menentang keputusan Nabi shallallahu
'alihi wa sallam. Inilah yang telah direalisasikan oleh para sahabat
dan para imam kaum muslimin sepeninggal para sahabat.
Allah berfirman:
﴿وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً﴾ (الأحزاب:36)
Dan
tidakkah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetappkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. 33:36)
﴿لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو
اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً﴾ (الأحزاب:21)
Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. 33:21)
﴿وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلاغُ الْمُبِينُ﴾ (النور: من الآية54)
“Dan
jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.Dan tiada lain
kewajiban rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (QS
24:54)
﴿فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ
تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴾ (النور: من
الآية63)
maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. 24:63)
﴿أَلَمْ
يَعْلَمُوا أَنَّهُ مَنْ يُحَادِدِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَأَنَّ لَهُ
نَارَ جَهَنَّمَ خَالِداً فِيهَا ذَلِكَ الْخِزْيُ الْعَظِيمُ﴾ (التوبة:63)
Tidakkah
mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasannya barangsiapa
menentang Allah dan Rasuil-Nya, maka sesungguhnya neraka Jahannamlah
baginya, dia kekal di dalamnya. Itulah adalah kehinaan yang besar. (QS.
9:63)
Berkata Al-Humaidi, “Kami sedang bersama Imam Asy-Syafi’i,
lalu datanglah seseorang dan bertanya tentang suatu permasalahan. Maka
As-Syafi’i berkata, “Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam telah
memutuskan permasalahan ini dengan hukum demikian dan demikian”. Orang
itu berkata kepada Imam As-Syafi’i, “Bagaimana menurut pendapat Anda?”,
maka Imam As-Syafii berkata,
سبحان الله!! تراني في كنيسة؟! تراني في بيعة؟! ترى على وسطي زُنَّارًا؟! أقول لك قضى فيها رسول الله وأنت تقول: ما تقول أنت؟!
“Maha
suci Allah, apakah engkau sedang melihatku di gereja?!, apakah engkau
sedang melihatku di tempat ibadah orang-orang yahudi?!, apakah engkau
melihat di pinggangku ada zunnar (yaitu sabuk yang dipakai oleh
orang-orang Nasrani)?!. Aku katakan kepadamu bahwa Rasulullah
shallallahu 'alihi wa sallam memutuskan perkara ini dengan hukuman
demikian dan demikian lantas engkau berkata “Bagaimana menurut
pendapatmu?”?![16]
عَنْ عَبْدِ الله بْنِ مُغَفَّلٍ : نَهَى
النَّبِيُّ عَنِ الْخَذْفِ وَقَال((إِنَّهَا لاَتَصْطَادُ صَيْدًا وَلاَ
تَنْكَأُ عَدُوًا وَلَكِنَّهَا تَفْقَأُ الْعَيْنَ وَتَكْسِرُ السِّنَّ))
فَقَالَ رَجُلٌ : وَمَا بَأْسُ هَذَا؟ فَقَالَ : إِنِّي أُحَدِّثُكَ عَنْ
رَسُوْلِ اللهِ وَتَقُوْلَ هَذَا؟ وَاللهِ لاَأُكَلِّمُكَ أَبَدًا
Dari
Abdullah bin Mugoffal bahwasanya Nabi shallallahu 'alihi wa sallam
melarang khadzf (mengutik dengan kerikil tatkala berburu untuk melukai
hewan buruan-pen) dan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya khadzf (kutikan) itu tidaklah menghasilkan hewan buruan,
juga tidak mematikan musuh, namun hanya membutakan mata dan mematahkan
gigi”. Orang itupun berkata kepada Abdullah, “Memangnya kenapa dengan
khadzf?”, maka Abdullah berkata, “Saya menyampaikan kepada engkau hadits
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam lalu engkau berkata demikian?,
demi Allah saya tidak akan berbicara denganmu selamanya!”.[17]
Imam
An Nawawi berkata, “Hadits ini menunjukan pemboikotan terhadap ahlul
bid’ah dan pelaku kefasikan dan penentang sunnah setelah dijelaskan
kepadanya, dan boleh memboikotnya secara terus menerus. Adapun larangan
dari memboikot seorang muslim lebih dari tiga hari hanyalah berlaku pada
orang yang bersalah karena kepentingan pribadi atau karena persoalan
kehidupan dunia. Adapun para ahlul bid’ah dan semisal mereka maka
pemboikotan terhadap mereka dilakukan secara terus menerus.[18] Padahal
disebutkan dalam riwayat Muslim bahwa pria yang diboikot oleh Abdullah
tersebut merupakan kerabat keluarga beliau.
Berkata Ibnu Hajar,
“Hadits ini menunjukan akan bolehnya memboikot orang yang menyelisihi
sunnah meninggalkan berbicara dengannya, dan hal ini tidak termasuk
dalam larangan dari memboikot (saudara sesama muslim) lebih dari tiga
hari, karena larangan tersebut hanyalah jika berkaitan dengan
pemboikotan karena perkara pribadi”[19]
Dari Salim bin Abdillah, bahwasanya Abdullah bin Umar berkata:
سَمِعْتُ
رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : ((لاَتَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ
إِذَا اسْتَأَنَّكُمْ إِلَيْهَا)). فَقَالَ بِلاَلُ بْنِ عَبْدِ الله :
وَاللهِ لَنَمْنَعُهُنَّ.
فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ عَبْدِ الله
فَسَبَّهُ سَبًّا شَدِيْدًا مَا سَمِعْتُهُ سَبَّهُ مِثْلَهُ قَطٌ, وَقَالَ
: أُخْبِرُكَ عَنْ رَسُلِ اللهِ وَتَقُوْلُ : وَاللهِ لَنَمْنَعُهُنَّ
Saya
mendengar Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda, “Janganlah
kalian melarang wanita-wanita kalian pergi ke mesjid-mesjid jika mereka
telah meminta idzin kepada kalian” Lalu berkatalah Bilal bin Abdullah
bin Umar (yaitu putra Abdullah bin Umar-pen), “Demi Allah kami akan
melarang mereka (ke mesjid)”. Maka Abdullah bin Umarpun menghadap
kepadanya lalu mencelanya dengan celaan yang sangat keras yang saya sama
sekali tidak pernah mendengar ia mencela seperti itu, lalu berkata,
“Saya mengabarkan kepadamu hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa
sallam lantas engkau berkata “Demi Allah kami akan melarang
mereka”??”[20] Dalam satu riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Muslim
فَضَرَبَ فِيْ صَدْرِهِ “Maka Abdullahpun memukul dadanya”
Imam
Nawawi berkata, “Hadits ini menunjukan hukuman terhadap orang yang
protes terhadap sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan yang
membantah sunnah dengan pemikirannya. Hadits ini juga menunjukan
(bolehnya) hukuman seorang bapak kepada anaknya walaupun sang anak telah
dewasa”[21]
Berkata Ibnu Hajar[22], “Tidaklah Abdullah
mengingkari putranya Bilal dengan pengingkaran yang sangat keras karena
Bilal secara langsung menyelisihi hadits, namun kalau seandainya Bilal
berkata misalnya “Sesungguhnya zaman sudah berubah, dan sebagian wanita
terkadang nampak dari mereka keinginan pergi ke mesjid namun ternyata
mereka punya maksud yang lain” maka yang nampak Abdullah bin Umar tidak
akan mengingkarinya (sedemikian rupa) sebagaimana yang diisyaratkan oleh
Aisyah[23]”
Beliau juga berkata, “Dan diambil (faedah) dari
pengingkaran Abdullah kepada putranya yaitu pemberian hukuman dan
pelajaran kepada orang yang menentang sunnah Nabi dengan berlandaskan
pikirannya dan kepada orang alim namun mengikuti hawa nafsunya, dan
bolehnya seorang bapak memberi hukuman dan pelajaran kepada anaknya
walaupun sang anak telah besar dan dewasa jika ia mengucapkan suatu
perkataan yang tidak pantas, serta bolehnya memberi hukuman dengan
menghajr (memutuskan hubungan). Telah datang riwayat dari jalan Ibnu Abi
Najiih dari Mujahid pada Musnad Imam Ahmad فَمَا كَلَّمَهُ عَبْدُاللهِ
حَتَى مَاتَ (Maka Abdullah bin Umar tidak pernah berbicara kepada
anaknya (Bilal) hingga wafat)[24]. Jika riwayat ini shahih maka ada
kemungkinan bahwa salah satu dari keduanya tidak lama kemudian meninggal
setelah terjadinya kisah ini.”[25]
عن عطاء بن يسار : أن رجلا باع
كِسرة من ذهب أو ورق بأكثر من وزنها، فقال له أبو درداء : سمعت رسول الله
يقول: ((يُنْهَى عَنْ مِثْلِ هَذَا إِلاَّ مَثَلا بِمَثَلٍ)). فقال الرجل:
ما أرى بمثل هذا بأسًا. فقال أبو درداء : من يعذرني من فلان؟، أحدثه عن
رسول الله ويخبرني عن رأيه، لا أساكنه بأرض أنت بها
Dari ‘Ato bin
Yasar, ada seseorang yang menjual sepotong (sebongkah) emas atau perak
dengan harga yang lebih berat dari berat bongkahan tersebut. Maka Abu
Darda’pun berkata kepadanya, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu
'alihi wa sallam berkata ((Dilarang dari yang seperti ini kecuali sama
beratnya )antara emas atau perak yang di jual (di tukar) dengan perak
atau emas yang di jadikan sebagai pembayar)). Orang tersebut berkata,
“Menurut saya tidak mengapa”. Maka Abu Darda’pun berkata kepadanya,
“Siapa yang menghalangiku dari orang ini?, aku sampaikan kepadanya
hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam lantas dia menyampaikan
kepadaku pendapatnya (yang menentang hadits). Saya tidak akan tinggal di
tempat yang kamu berada di situ”[26]
عن الأعرج قال : سمعت أبا
سعيد الخدري يقول لرجل: أتسمعني أحدث عن رسول الله أنه قال: ((لاَ
تَبِيْعُوْا الدِّيْنَارَ بِالدِّيْنَارِ وَالدِّرْهَمَ بِالدِّرْهَمِ
إِلاَّ مَثَلا بِمَثَلٍ، وَ لاَ تَبِيْعُوْا مِنْهَا عَاجِلاَ بِآجِلٍ)) ثم
أنت تفتي بما تفتي؟، والله لايؤويني وإياك ما عشت إلا المسجد!"
Dari
Al-A’roj berkata, “Saya mendengar Abu Said Al-Khudri berkata kepada
seseorang, “Tidakkah engkau mendengarkan perkataanku?, aku sampaikan
kepadamu hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bahwasanya ia
bersabda ((Janganlah kalian menjual dinar dengan dinar atau dirham
dengan dirham kecuali jika sama sama berat timbangannya, dan janganlah
kalian menjualnya dengan tidak kontan)), kemudian engkau berfatwa dengan
fatwamu (yang menyelisihi hadits)??. Demi Allah kita tidak akan berada
di bawah satu atap selama hidupku kecuali di mesjid”[27]
Berkata
Al-Hakim, :”Saya mendengarnya –yaitu Abu Bakar As-Shibgi (wafat pada
tahun 342 H)- tatkala dia sedang berbicara dengan seorang ahli fikih,
dia berkata, “Sampaikanlah kepada kami riwayat hadits dari jalan
Sulaiman bin Harb!”. Maka ahli fiqh itu berkata, حَدَّثَنَا دَعْنَا مِنْ
“Tinggalkan kami dari perkataan حَدَّثَنَا (Telah menyampaikan kepada
kami), إِلَى مَتَى حَدَّثَنَا وَ أَخْبَرَنَاsampai kapan terus (kita
sibuk dengan) حَدَّثَنَا dan أَخْبَرَنَا (Telah mengabarkan kepada
kami)??. Maka Abu Bakar As-Sibgi berkata, يا هذا لست أشُمُّ من كلامك
رائحة الإِيْمَانِ، وَلاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ تدخل دَاري “Wahai fulan, saya
tidak mencium dari perkataanmu bau kaimanan, dan tidak halal bagi
engkau memasuki rumahku”. Kemudian diapun memboikot ahli fikh tersebut
hingga dia wafat.[28]
Abul Husain At-Thobsi berkata, “Saya
mendengar Abu Sa’id Al-Ashthikhri berkata –dan tatkala itu datang
seseorang kepadanya dan bertanya kepadanya, “Apakah boleh beristinja’
dengan tulang?- maka ia (Abu Sa’id) menjawab, “Tidak boleh”. Orang itu
berkata, “Kenapa tidak boleh?”, ia berkata, “Karena Rasulullah
shallallahu 'alihi wa sallam bersabda ((هُوَ زَادُ إِخْوَانِكُمْ مِنَ
الْجِنِّ)) “Dia adalah bekal (makanan) saudara-saudara kalian dari
golongan jin”. Orang itu menimpali, “Bukankah manusia lebih mulia
daripada jin?” ia berkata, “Tentu manusialah yang lebih mulia”. Orang
itu berkata, “Jika demikian, lantas mengapa boleh beristinja’ dengan
air, padahal air adalah minuman manusia?”, iapun menerjang orang itu dan
memegang lehernya dan berkata “Wahai zindik (munafik), engkau menentang
sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam??. Lalu ia (Abu Sa’id)
mencekik orang itu, kalau tidak segera saya cegah mungkin ia telah
membunuh orang itu”[29]
Ibnul Qoyyim berkata, “Apakah ada
diantara para sahabat yang tatkala mendengar hadits Nabi lantas
memabantahnya dengan qiyasnya?, atau dengan perasaannya?, atau dengan
pendapatnya?, atau dengan akalnya?, atau dengan siasat
politiknya???...apakah ada diantara mereka yang lebih mendahulukan akal
atau qiyas atau perasaan atau politik atau taklid dari pada hadits Nabi
shallallahu 'alihi wa sallam ??... Sungguh Allah telah memuliakan dan
mensucikan dan menjaga mata mereka dari melihat wajah orang yang
demikian halnya (yang menentang hadits Nabi dengan akal atau
perasaannya) atau membiarkan ada orang seperti ini dizaman mereka.
Umar
bin Khottob telah memberi hukuman pedang kepada orang yang mendahulukan
pendapatnya dari pada hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam
dengan berkata, “ini adalah pendapatku”.
Ya Allah… bagaimana jika
Umar melihat apa yang kita lihat sekarang ini?? Jika Umar menyaksikan
musibah yang menimpa kita berupa sikap mengedepankan pendapat si fulan
dan si fulan dari pada perkataan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam yang
terjaga dari kesalahan?? Bagaimana jika Umar melihat penentangan
orang-orang yang menampilkan pendapat-pendapat mereka dan lebih
mengedepankan pendapat dan pemikiran mereka daripada perkataan
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam?? Hanyalah Allah tempat meminta
pertolongan, Dari Dialah kita diciptakan dan kepadaNyalah kita
kembali”.[30]
Allah berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلا
تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ
أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ﴾ (الحجرات:2)
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari
suara Nabi, dam janganlah kamu berkata padanya dengan suara keras
sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang
lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak
menyadari. (QS. 49:2)
Berkata Ibnul Qoyyim mengomentari ayat ini,
“Maka Allah memperingatkan orang-orang mukmin dari terhapusnya amalan
mereka jika mereka mengeraskan suara mereka di hadapan Rasulullah
shallallahu 'alihi wa sallam sebagaimana mereka mengeraskan suara mereka
diantara mereka.
Dan terhapusnya amalan dalam permasalahan ini
bukanlah dikarenakan kemurtadan tetapi dikarenakan kemaksiatan yang bisa
menghapuskan amal padahal pelakunya tidak merasa. Bagaimana pula dengan
orang yang mengedapankan perkataan, petunjuk, dan jalan selain
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam diatas perkataan, petunjuk, dan
jalan Rasulullah??, bukankah orang seperti ini juga telah menghapus
amalannya dan dia dalam keadaan tidak sadar??[31]
3. Tidak mengedapankan perkataan siapapun diatas perkataan Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam
As-Sya’bi
berkata kepada seseorang, مَا حدَّثُوك عن رسول الله فخذ به وما قالوه
برأيهم فَأَلْقِهِ في الحُشِّ “Apa saja yang mereka sampaikan kepadamu
dari Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam maka ambillah dan apa saja
yang mereka katakan dari pendapat mereka maka buanglah di jamban (tempat
buang air)[32]
Berkata Umar bin Abdilaziz, لارأْيَ لأَحَدٍ مع
سنةٍ سنَّهَا رسولُ الله “Tidak dilihat pendapat siapapun jika telah ada
sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam”[33]
Imam As-Syafi’I
berkata, أَجْمعَ الناسُ على أنَّ من استبانتْ له سنةٌ عن رسول الله لم يكن
له أنْ يَدَعَها لِقول أحد من النَّاس “Manusia telah sepakat bahwasanya
barangsiapa yang telah jelas baginya suatu sunnah dari Nabi shallallahu
'alihi wa sallam maka tidak boleh baginya untuk meninggalkan sunnah
tersebut karena mengikuti perkataan (pendapat) seseorang”. Dan telah sah
bahwasanya beliau juga pernah berkata, لا قول لأَحَدٍ مع سنةِ رسولِ
الله “Tidak dilihat pendapat siapapun jika telah ada sunnah Nabi
shallallahu 'alihi wa sallam”[34]
Berkata Ibnu Khuzaimah, , لا
قول لأَحَدٍ مع رسولِ الله إِذَا صَحَّ الْخَبَرُ غنه “Tidak dipandang
perkataan siapapun jika telah sah sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa
sallam”[35]
Dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Nabi berhaji
tamattu’[36], maka Urwah bin Az-Zubair berkata, “Abu Bakar dan Umar
melarang tamattu’”. Ibnu Abbas menimpali perkataannya, أُرَاهُم
سَيَهْلَكُوْنَ، أَقُوْلُ قَالَ النَّبِيُّ وَيَقُوْلُوْنَ: نَهَى أَبُو
بَكْرٍ وَ عُمَرُ “Aku melihat mereka akan binasa, aku menyampaikan
kepada mereka “Nabi shallallahu 'alihi wa sallam bersabda demikian”,
namun mereka berkata “Abu Bakar dan Umar melarang.”[37]
Dalam
riwayat yang lain beliau berkata, يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ حِجَارَةٌ مِنَ
السَّمَاءِ، أَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَتَقُوْلُونَ قَالَ أَبُو
بَكْرٍ وَعُمَرُ؟؟! “Hampir saja menimpa kalian hujan batu dari langit,
aku berkata “Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata demikian”
lantas kalian berkata, “Abu Bakar dan Umar berkata demikian dan
demikian”[38]
Berkata Syaikh Ibnu Al-Utsaimin, “Abu Bakar dan
Umar adalah orang yang paling terbaik dari umat ini, dan yang paling
dekat kepada kebenaran. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam telah bersabda
إِنْ يُطِيْعُوا أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ يَرْشُدُوا “Jika mereka patuh
kepada Abu Bakar dan Umar maka mereka akan mendapat petunjuk”[39], dan
diriwayatkan juga dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam bahwasanya
beliau bersabda اِقْتَدَوْا بِالَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ
وَعُمَرَ “Teladanilah dua orang sepeninggalku yaitu Abu Bakar dan
Umar!”[40]. Beliau shallallahu 'alihi wa sallam juga bersabda عَلَيْكُمْ
بِسُنّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ
بَعْدِي تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَجَذَِ “Wajib
atas kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rosyidin
yang mendapat petunjuk sepeninggalku. Berpegangteguhlah dengannya dan
gigitlah dengan geraham-geraham kalian”[41]. Dan tidak pernah diketahui
dari Abu Bakar dan Umar bahwasanya keduanya menyelisihi hadits yang
sangat jelas dari Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dengan akal
mereka berdua. Maka jika ada orang yang menghadapkan hadits Rasulullah
shallallahu 'alihi wa sallam dengan perkataan Abu Bakar dan Umar maka
dikawatirkan akan turun hujan batu dari langit bagaimana lagi dengan
orang yang menentang hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam
dengan membawakan perkataan orang yang jauh di bawah derajat mereka
berdua?? Padahal perbedaan antara orang tersebut dengan Abu Bakar dan
Umar seperti bedanya langit dan bumi??, tentunya hukumannya lebih parah
lagi.[42]”
Berkata Salim bin Abdillah,
إني لجَاَلِسٌ مع
ابن عمر في المسجد إذ جاءه رجل من إهل الشام فسأله عن التمتع بالعمرة إلى
الحج؟ فقال ابن عمر : حسن جميل. فقال: فإن أباك كان ينهى عن ذلك؟ فقال:
ويلك! فإن كان أبي قد نهى عن ذلك وقد فعله رسول الله وأمر به، فبقول أبي
تأخذ أم بأمر رسول الله؟ قال بأمر رسول الله. فقال : فقم عني
“Aku
sedang duduk bersama Ibnu Umar di masjid tiba-tiba datang seseorang dari
penduduk negeri Syam, lalu dia bertanya kepada Ibnu Umar tentang umrah
bersama haji?, maka Ibnu Umar berkata, “(Ini adalah perkara yang) baik
dan bagus”. Orang itu berkata, “Tapi ayahmu (yaitu Umar bin Al-Khottob)
dulu melarang perkara ini?”. Ibnu Umar berkata, “Celaka engkau, jika
ayahku telah melarang perkara ini dan perkara ini telah dikerjakan oleh
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dan telah memerintahkannya maka
perkataan ayahku yang kau pegang ataukah perintah Nabi shallallahu
'alihi wa sallam?!”. Orang itu berkata, “Perintah Nabi”. Ibnu Umar lalu
berkata, “Menyingkirlah dariku!!”.[43]
Berkata Abu As-Saib,
“Kami berada bersama Imam Waki’ lalu beliau berkata kepada seseorang
yang termasuk ahlu ro’yi أَشْعَرَ رَسُوْلُ اللهِ “Rasulullah berbuat
isy’ar[44]”. Orang itupun menimpali, “Tapi Abu Hanifah berpendapat bahwa
isy’ar itu adalah mutslah (penyiksaan dengan mencincang)”. Kemudian
orang itu melanjutkan perkataannya, “Telah datang dari Ibrahim
An-Nakho’i bawhasanya dia berkata, “Isy’ar itu mutslah”. Maka akupun
melihat Imam Waki’ marah besar dan berkata: أَقُوْلُ لَك ٌَالَ رَسُوْلُ
اللهِ وَتَقُوْلُ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ؟؟ مَا أَحَقَّكَ بِأَنْ تُحْبَسَ
ثُمَّ لاَتَخْرُجَ حَتَّى تَنْزِعَ عَن قَوْلِكَ “Aku berkata kepadamu
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda demikian lantas engkau
berkata Ibrahim berkata demikian..!!, engkau sungguh sangat pantas untuk
dipenjara kemudian tidak keluar dari penjara tersebut hingga engkau
mencabut perkataanmu ini!”[45]
Berkata Imam Ahmad:
عجِبتُ
من قَومٍ عرَفوا الإسنادَ وَصِحَّتَهُ يذهبون إلى رَأْيِ سُفيانَ واللهُ
يقول : ﴿فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ
تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴾ (النور: من
الآية63). أتدري ما الفتنة؟ الفتنة شرك، لعله إذا ردَّ بعضَ قوله أَن يقعَ
في قلبه شيء من الزيغ فَيهْلِك
“Aku heran terhadap sauatu kaum
yang mereka mengetahui tentang isnad dan shohihnya isnad tersebut lantas
mereka mengikuti pendapat Sufyan (At-Tsauri yang menyelisihi hadits
Rasulullah-pen), padahal Allah telah berfirman: “Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa azab yang pedih.” (QS. 24:63). Tahukah engkau apa yang dimaksud
dengan fitnah dalam ayat ini?, maksudnya adalah keyirikan, karena ia
jika menolak sebagian hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam
maka akan masuk dalam hatinya suatu penyimpangan lalu ia celaka”[46]
Namun
yang sangat menyedihkan apa yang terjadi pada kaum muslimin, banyak
dari mereka yang terlalu berlebihan dalam mengagungkan imam madzhab
mereka, guru-guru mereka, kiyai-kiyai mereka sampai-sampai mereka lebih
mendahulukan pendapat imam-imam mereka daripada hadits Rasulullah
shallallahu 'alihi wa sallam.
Ibnu Sirin menyampaikan hadits
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam kepada seseorang lalu orang itu
berkata, “Si fulan dan si fulan telah berkata ini dan itu..”, maka Ibnu
Sirinpun berkata أُحَدِّثُكَ عَنِ النَّبِيِّ وَتَقُوْلُ قَالَ فُلاَنٌ
وَفُلاَنٌ كَذَا وَكَذَا؟، وَاللهِ لاَأُكَلِّمُكَ أَبَدًا “Aku
menyampaikan kepadamu hadits dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam
lantas engkau berkata, “Si fulan dan si fulan telah berkata ini dan
itu”?, demi Allah aku tidak akan berbicara denganmu selamanya”[47]
4. Berhukum kepada sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam jika terjadi perselisihan dalam permasalahan apapun
Allah berfirman
﴿وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً﴾ (الأحزاب:36)
Dan
tidakkah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetappkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. 33:36)
﴿يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً﴾ (النساء:59)
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (QS. 4:59)
Firman Allah شَيْءٍ “sesuatu”, dalam ayat ini mencakup seluruh perselisihan baik dalam masalah usul maupun masalah furu’[48]
﴿فَلا
وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجاً مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا
تَسْلِيماً﴾ (النساء:65)
Maka demi Rabbmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. 4:65)
Berkata Ibnu
Taimiyah, “Semua yang keluar dari sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa
sallam dan syari’atnya (tidak berhukum dengan sunnah Nabi shallallahu
'alihi wa sallam) maka Allah telah bersumpah dengan Dzatnya Yang Suci
bahwasanya mereka tidaklah beriman hingga mereka ridha dengan hukum yang
diputuskan oleh Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam di semua
perkara yang mereka perselisihkan baik perkara agama maupun perkara
dunia, dan hingga tidak tersisa dalam hati mereka rasa keberatan
terhadap keputusan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam”[49]
﴿ألَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ
إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا
إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ
الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالاً بَعِيداً وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ
تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ
الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُوداً﴾ (النساء:60-61)
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah
beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang
diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal
mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila
dikatakan kepada mereka:”Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah
telah turunkan dan kepada hukum Rasul,” niscaya kamu lihat orang-orang
munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati)
kamu. (QS. 4:60-61)
Berkata Ibnul Qoyyim, “Maka Allah menjadikan
sikap berpaling dari apa yang datang dari Nabi shallallahu 'alihi wa
sallam dan sikap memandang kepada hukum selain hukum Rasulullah
shallallahu 'alihi wa sallam merupakan hakikat dari kemunafikan,
sebagaimana hakikat dari keimanan adalah menjadikan Rasulullah
shallallahu 'alihi wa sallam pemutus perkara dan tidak adanya keberatan
dalam dada dari keputusan yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu
'alihi wa sallam serta pasrah menerima dengan keputusan tersebut, ridha
sesuai dengan kehendak sendiri karena kecintaan kepada Nabi shallallahu
'alihi wa sallam. Inilah hakikat dari keimanan, dan sikap berpaling
adalah hakikat dari kemunafikan”[50]
Dan hal inilah (kembali
kepada sunnah Nabi tatkala terjadi perselisihan) yang diserukan oleh
para Imam madzhab. Namun sungguh menyedihkan betapa banyak para pengikut
madzhab yang fanatik dengan madzhab mereka. Mereka memegang teguh
pendapat imam madzhab mereka, seakan-akan perkataan imam mereka turun
dari langit[51], seakan-akan imam mereka ma’sum (terjaga dari
kesalahan). Padahal ini menyelisihi wasiat dari para imam madzhab
tersebut.[52]
a. Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al-Kufi,
Diantara wasiat-wasiat beliau adalah:
إذا صح الحديث فهو مذهبي
“Jika telah shahih suatu hadits maka itulah madzhabku”[53]
لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا ما لم يعلم من أين أخذناه
“Tidak halal bagi seorangpun untuk mengambil pendapat kami jika dia tidak tahu dari mana kami mengambil pendapat tersebut”[54]
وفي رواية : ( حرام على من لم يعرف دليلي أن يفتي بكلامي )
Dalam riwayat yang lain, “Haram atas orang yang tidak mengetahui dalilku untuk berrfatwa dengan pendapatku”
زاد في رواية : ( فإننا بشر نقول القول اليوم ونرجع عنه غدا )
Dalam
riwayat yang lain, “Sesungguhnya kami hanyalah manusia, kami menyatakan
suatu pendapat pada hari ini kemudian esok harinya kami cabut pendapat
tersebut”
وفي أخرى : ( ويحك يا يعقوب ( هو أبو يوسف ) لا تكتب كل
ما تسمع مني فإني قد أرى الرأي اليوم وأتركه غدا وأرى الرأي غدا وأتركه بعد
غد )
Dalam riwayat yang lain, “Celaka engkau wahai Ya’qub (yaitu
Abu Yusuf), janganlah engkau menulis semua yang kau dengar dariku,
karena aku terkadang menyatakan suatu pendapat pada hari ini kemudian
esok harinya aku tinggalkan pendapatku tersebut, dan terkadang aku
menyatakan suatu pendapat di esok hari kemudian lusanya aku tinggalkan
pendapatku tersebut.”
Berkata Syaikh Al-Albani, “Hal ini terjadi
karena Imam Abu Hanifah banyak membangun pendapat-pendapatnya di atas
qias, lalu nampak baginya ada qias lain yang lebih kuat, atau sampai
kepadanya hadits Nabi shallallahu 'alihi wa sallam (yang tadinya tidak
diketahuinya) kemudian diapun mengambil hadits tersebut dan meninggalkan
pendapatnya yang lalu”[55]
b. Imam Malik bin Anas
Diantara wasiat-wasiat beliau adalah:
إنما أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا في رأيي فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوه وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه
“Sesungguhnya
aku hanyalah manusia berbuat benar dan bersalah, maka lihatlah kepada
pendapatku, semua pendapatku yang sesuai denga Al-Qur’an dan sunnah Nabi
shallallahu 'alihi wa sallam maka ambillah dan semua yang tidak sesuai
dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam maka
tinggalkanlah”[56]
ليس أحد بعد النبي صلى الله عليه وسلم إلا ويؤخذ من قوله ويترك إلا النبي صلى الله عليه وسلم
Tidak
seorangpun setelah sepeninggal Nabi shallallahu 'alihi wa
sallamkecuali pendapatnya bisa diterima atau ditolak, kecuali Nabi
shallallahu 'alihi wa sallam”[57]
قال ابن وهب : سمعت مالكا سئل عن
تخليل أصابع الرجلين في الوضوء ؟ فقال : ليس ذلك على الناس، قال فتركته
حتى خف الناس فقلت له : عندنا في ذلك سنة فقال : وما هي ؟ قلت : حدثنا
الليث بن سعد وابن لهيعة وعمرو بن الحارث عن يزيد بن عمرو المعافري عن أبي
عبد الرحمن الحنبلي عن المستورد بن شداد القرشي قال : رأيت رسول الله صلى
الله عليه وسلم يدلك بخنصره ما بين أصابع رجليه . فقال : إن هذا الحديث حسن
وما سمعت به قط إلا الساعة ثم سمعته بعد ذلك يسأل فيأمر بتخليل الأصابع
Berkata
Ibnu Wahb, “Saya mendengar Malik ditanya tentang (hukum) menyela-nyela
jari-jari kaki tatkala wudlu”, beliau berkata, “Hal itu tidak dilakukan
oleh orang-orang”, maka akupun meninggalkannya hingga orang-orang sudah
sepi lalu aku katakan kepadanya, “Kami mengetahui sunnah Nabi
shallallahu 'alihi wa sallam tentang hal itu”, Imam Malik berkata,
“Sebutkan sunnah tersebut!”. Aku berkata, “Telah menyampaikan kepada
kami Al-Laits bin Sa’ad dan Ibnu Lahi’ah dan ‘Amr bin Al-Harits dari
Yazid bin ‘Amr Al-Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habali dari
Al-Mustaurod bin Syaddad Al-Qurosyi, ia berkatam “Saya melihat
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam menggosok dengan jari
keingkingnya sela-sela jari-jari kakinya”. Lalu berkata Imam Malik,
“Hadits ini adalah hadits yang hasan, aku sama sekali tidak pernah
mendengarnya kecuali sekarang.” Kemudian saya mendengar ia ditanya
setelah itu maka iapun memerintahkan untuk menyela jari-jari kaki
tatkala wudlu”[58]
c. Imam As-Syafi’i
Diantara wasiat-wasiat beliau adalah:
أَجْمعَ الناسُ على أنَّ من استبانتْ له سنةٌ عن رسول الله لم يكن له أنْ يَدَعَها لِقول أحد من النَّاس
“Manusia
telah sepakat bahwasanya barangsiapa yang telah jelas baginya suatu
sunnah dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam maka tidak boleh baginya
untuk meninggalkan sunnah tersebut karena mengikuti perkataan (pendapat)
seseorang”
)إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه
وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت(. وفي رواية (
فاتبعوها ولا تلتفتوا إلى قول أحد )
“Jika kalian mendapatkan
dalam kitab-kitabku apa yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu
'alihi wa sallam maka bepandapatlah dengan sunnah Rasulullah shallallahu
'alihi wa sallam dan tinggalkanlah pendapatku”, dalam riwayat yang
lain, “Ikutilah sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan janganlah
kalian melihat pendapat siapapun”[59]
( إذا صح الحديث فهو مذهبي )
“Jika telah shahih suatu hadits maka itulah madzhabku”[60]
إذا رأيتموني أقول قولا وقد صح عن النبي صلى الله عليه وسلم خلافه فاعلموا أن عقلي قد ذهب.
“Jika
kalian mendapatiku menyatakan suatu pendapat padahal ada hadits yang
shahih dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam yang menyelisihi
pendapatku itu maka ketahuilah tatkala itu akalku sedang tidak ada”[61]
كل حديث عن النبي صلى الله عليه وسلم فهو قولي وإن لم تسمعوه مني
“Semua
hadits dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam maka itulah pendapatku
walaupun kalian tidak mendengar aku menyatakan pendapatku tersebut”[62]
d. Imam Ahmad bin Hanbal
Diantara wasiat-wasiat beliau:
لا تقلدني ولا تقلد مالكا ولا الشافعي ولا الأوزاعي ولا الثوري وخذ من حيث أخذوا
“Janganlah
kalian taklid kepadaku, dan jangan taklid kepada Malik, As-Syafi’i,
Al-Auza’i, Ats-Tsauri, namun ambillah dari mana mereka mengambil”[63]
رأي الأوزاعي ورأي مالك ورأي أبي حنيفة كله رأي وهو عندي سواء وإنما الحجة في الآثار
Beliau
juga berkata, “Pendapat Al-Auza’i, pendapat Malik, pendapat Abu Hanifah
semuanya adalah pendapat, semuanya sama di sisiku. Hujjah (argumen)
hanyalah pada atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa
sallam)”[64]
Syaikh Al-Albani berkata (setelah menyebutkan
wasiat-wasiat empat imam madzhab di atas), “Inilah perkataan para Imam
madzhab tentang perintah untuk berpegang teguh dengan hadits dan
larangan untuk mentaklid mereka tanpa dalil. Perkataan-perkataan mereka
ini sangat jelas, tidak bisa dipungkiri, dan tidak bisa ditarik ulur
maknanya. Oleh karena itu barangsiapa yang berpegang teguh dengan semua
yang shahih dari sunnah-sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam
walaupun menyelisihi sebagian pendapat para imam madzhab maka tidaklah
dikatakan dia telah tampil beda (menyelisihi) atau telah keluar dari
jalan para imam madzhab, bahkan dia adalah pengikut para imam madzhab
tersebut dan telah berpegang teguh kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Berbeda dengan orang yang meninggalkan sunnah Nabi
shallallahu 'alihi wa sallam yang shahih hanya karena menyelisihi
pendapat para imam madzhab, orang seperti ini pada hakekatnya telah
menentang para imam madzhab dan menyelisihi perkataan dan wasiat mereka
sebagaimana telah disebutkan disatas. Allah berfirman:
﴿فَلا
وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجاً مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا
تَسْلِيماً﴾ (النساء:65)
Maka demi Rabbmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. 4:65)
﴿فَلْيَحْذَرِ
الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ
يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴾ (النور: من الآية63)
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. 24:63)”[65]
Firanda Andirja
www.firanda.com
Catatan Kaki:
[1] Diriwayatkan oleh Al-Hakim 3/62 dan
beliau berkata, “Ini adalah hadits yang shahih sesuai dengan kriteria
persyaratan Imam Bukhari dan Muslim dan keduanya tidak mengeluarkan
hadits ini (dalam kitab shahih mereka). Dan beliau disepakati oleh
Ad-Dzahabi. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani karena syawahidnya
(As-Shahihah no 306)
[2] Maksud dari perkataan serigala ini
adalah “Engkau wahai penggembala kambing yang telah merebut kembali
kambingmu dariku, sesungguhnya engkau suatu saat akan lari tatkala
datang singa menerkam kambing ini dan engkau tidak bisa
menyelamatkannya, lalu singa tersebut memakan kambing itu hingga puas
kemudian akulah sendiri yang berada (menunggui/memperhatikan kambing
itu) hingga selesai singa itu makan, lalu aku memakan kambing yang
tersisa dari lahapan singa.” (Fathul Bari 7/35 penjelasan hadits no
3663)
[3] HR Al-Bukhari no 3471, dan dalam tempat-tempat yang lain no 2324, 3663, dan 3690
[4] Fathul Bari 7/35 penjelasan hadits no 3663
[5] Fathul Bari 6/634, penjelasan hadits no 3471
[6]
Jangankan hadits yang ini bahkan hadits yang tidak aneh saja mereka
tolak sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam
Al Bukhari dimana Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda :
قال النبي إذا وقع الذباب في شراب أحدكم فليغمسه ثم لينزعه فإن في إحدى جناحيه داء والأخرى شفاء
“Jika sesekor lalat jatuh di minuman salah seorang dari kalian maka
hendaklah ia memebenamkan lalat tersebut (dalam minumannya) kemudia
mengeluarkan lalat tersebut karena pada salah satu sayap lalat tersebut
ada racun dan pada sayap yang lain ada obat”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Abu Dawud no 3844, Ibnu Majah no
3503, Ahmad no 7353, 7562, 8642, 9024, 9157, 9719, 11205, Ibnu Hibban no
1246, 1247, 5250, Ibnu Khuzaimah no150 (1/56), An-Nasai (Al-Kubro) no
4588 (3/88), Al-Baihaqi no 1122, 1125. Hadits ini diriwayatkan dari Abu
Hurairah dan Abu Sa’I Al-Kudri. Juga dirwayatkan dari Anas bin Malik
sebagaimana dalam riwayat Al-Bazzar dengan para perawi yang tsiqoh
sebagaimana perkataan Ibnu Hajar (Al-Fath 10/308 syarh hadtis no 5782)
dari riwayat ‘Abdullah bin Al-Mutsanna dari paman beliau Tsumamah
bahwasanya pamannya tersebut menyampaikan kepadanya seraya berkata,
كنا
عند أنس فوقع ذباب في إناء فقال أنس بأصبعه فغمسه في ذلك الإناء ثلاثا ثم
قال بسم الله وقال أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أمرهم أن يفعلوا ذلك
“Kami
bersama Anas, lalu jatuh seeokr lalat di sebuah cangkir maka Anaspun
mneclupkan lalat tersebut dengan jarinya dalam cangkir tersebut tiga
kali kemudian ia berkata “Bismillah” dan berkata, “Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam memerintahkan mereka (para
sahabat) untuk melakukannya”
Sebagian mereka ada yang berkata
mengomentari hadits ini, “Saya mengambil perkataan Dokter yang kafir dan
saya tidak menerima perkataan Rasulullah !!!”
Oleh karena itu
jangan tertipu dengan perkataan orang yang menolak hadits ini dengan
dalih bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan
riwayat-riwayat Abu Hurairah masih perlu diteliti dan dipertanyakan.
Ketahuilah bahwa seandainya Abu Hurairah sendiri yang meriwayatkan
hadits ini maka kita harus menerimanya karena dia adalah seorang sahabat
yang pernah didoakan oleh Rasulullah agar kuat hapalannya. Apalagi jika
hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri dan Anas bin
Malik –semoga Allah meridhoi mereka-.
Berkata Al-Khottobi هذا
مما ينكره من لم يشرح الله قلبه “Hadits ini diantara hadits-hadits yang
diingkari oleh orang yang tidak dilapangkan dadanya oleh Allah” (Umdatul
Qori 21/293)
[7] Madarijus Salikin 2/387
[8] Berkata
Ibnu Hajar, “Yaitu janganlah kalian beramal dalam perkara agama dengan
hanya sekedar mengandalkan otak dengan tanpa bersandar kepada dalil dari
agama” (Fathul Bari 13/353, syarh hadits no7308)
[9] Maksudnya
adalah tatkala terjadi perundingan Hudaibiyah. Berkata Ibnu Hajar,
“Disebut kejadian Abu Jandal karena kejadian yang paling genting tatkala
itu adalah kisah Abu Jandal” (Fathul Bari 6/338 syarah hadits no 3181).
Lihat kisah Abu Jandal dan jalannya perundingan Hudaibiyah secara
lengkap pada HR Al-Bukhari no 2731,2732, Kitab As-Syurut. Secara ringkas
kejadiannya sebagai berikut:
Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam
bersama para sahabatnya (diantaranya adalah Abu Bakar dan Umar) pergi
dari Madinah pada hari senin bulan Dzul Qo’dah tahun ke enam Hijriah
(Umdatul Qori 14/6), menuju Mekah untuk melaksanakan Umroh. Tatkala Nabi
shallallahu ‘alihi wa sallam dan para sahabatnya sampai dan singgah di
Hudaibiyah datanglah Budail bin Warqo’ mengabarkan kepada Nabi
shallallahu ‘alihi wa sallam bahwa orang-orang musyrik di Mekah telah
siap siaga untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dan
para sahabatnya dan akan mengahalangi mereka mengerjakan umroh. Nabi
÷pun berkata,
إنا لم نجئ لقتال أحد ولكنا جئنا معتمرين وإن قريشا
قد نهكتهم الحرب وأضرت بهم فإن شاؤوا ماددتهم مدة ويخلوا بيني وبين الناس
فإن أظهر فإن شاؤوا أن يدخلوا فيما دخل فيه الناس فعلوا وإلا فقد جموا وإن
هم أبوا فوالذي نفسي بيده لأقاتلنهم على أمري هذا حتى تنفرد سالفتي ولينفذن
الله أمره
“Sesungguhnya kami datang bukan untuk
memerangi seorangpun, namun kami datang untuk mengerjakan umroh.
Sesungguhnya peperangan (yang telah terjadi antara kaum muslimin dan
kafir Quraisy secara berulang-ulang-pen) telah melemahkan kaum Quraisy
dan telah memberi kemudhorotan kepada mereka. Jika mereka ingin maka aku
akan memberikan waktu perdamaian (gencat senjata) antara aku dan
orang-orang (yaitu orang-orang kafir Arab). Jika (di masa perdamaian
tersebut) kaum selain mereka (yaitu orang-orang kafir dari selain kafir
Quraisy kota Mekah) mengalahkan aku maka mereka tidak perlu memerangiku
lagi (karena aku telah dikalahkan oleh selain mereka-pen). Dan jika aku
mengalahkan kaum selain mereka, maka jika mereka ingin mentaatiku
sehingga masuk dalam Islam sebagaimana orang-orang masuk dalam Islam
maka silahkan. Dan jika mereka enggan masuk dalam Islam maka selepas
masa gencatan senjata kekuatan mereka telah kembali. Namun jika mereka
(sekarang) enggan untuk gencatan senjata maka demi Dzat yang jiwaku
berada di tanganNya, aku sungguh-sungguh akan memerangi mereka di atas
agamaku hingga aku mati (dan aku bersendirian dalam kuburanku). Dan
sesungguhnya Allah akan menolong agamaNya”.Akhir cerita
akhirnya orang-orang Quraisy setuju dengan gencatan senjata lalu mereka
mengutus Suhail bin ‘Amr untuk menulis perjanjian damai dengan Nabi
shallallahu 'alihi wa sallam.
فجاء سهيل بن عمرو فقال هات اكتب
بيننا وبينكم كتابا فدعا النبي صلى الله عليه وسلم الكاتب فقال النبي
صلى الله عليه وسلم بسم الله الرحمن الرحيم قال سهيل أما الرحمن فوالله ما
أدري ما هو ولكن اكتب باسمك اللهم كما كنت تكتب فقال المسلمون والله لا
نكتبها إلا بسم الله الرحمن الرحيم فقال النبي صلى الله عليه وسلم اكتب
باسمك اللهم ثم قال هذا ما قاضى عليه محمد رسول الله فقال سهيل والله لو
كنا نعلم أنك رسول الله ما صددناك عن البيت ولا قاتلناك ولكن اكتب محمد بن
عبد الله فقال النبي صلى الله عليه وسلم والله إني لرسول الله وإن
كذبتموني اكتب محمد بن عبد الله (وفي رواية: وكان لا يكتب، فقال لعلي:
"امْحُ رسولَ الله"، فقال علي: "والله ر أمحاه أبداً". قال: "فأرِنِيه".
فأراه إياه فمحاه النبي بيده) فقال له النبي صلى الله عليه وسلم على أن
تخلوا بيننا وبين البيت فنطوف به فقال سهيل والله لا تتحدث العرب أنا أخذنا
ضغطة ولكن ذلك من العام المقبل فكتب فقال سهيل وعلى أنه لا يأتيك منا رجل
وإن كان على دينك إلا رددته إلينا قال المسلمون سبحان الله كيف يرد إلى
المشركين وقد جاء مسلما فبينما هم كذلك إذ دخل أبو جندل بن سهيل بن عمرو
يرسف في قيوده وقد خرج من أسفل مكة حتى رمى بنفسه بين أظهر المسلمين فقال
سهيل هذا يا محمد أول ما أقاضيك عليه أن ترده إلي فقال النبي صلى الله
عليه وسلم إنا لم نقض الكتاب بعد قال فوالله إذا لم أصالحك على شيء أبدا
قال النبي صلى الله عليه وسلم فأجزه لي قال ما أنا بمجيزه لك قال بلى
فافعل قال ما أنا بفاعل قال أبو جندل أي معشر المسلمين أرد إلى المشركين
وقد جئت مسلما ألا ترون ما قد لقيت وكان قد عذب عذابا شديدا في الله
Lalu
datanglah Suhail bin ‘Amr, lalu iapun berkata kepada Nabi shallallahu
'alihi wa sallam “Tulislah suatu pernyataan antara kami dan kalian!”,
maka Nabi shallallahu 'alihi wa sallam memanggil penulis (yaitu Ali bin
Abi Tholib) dan menyuruhnya untuk menulis Bismillahirrohmanirrohim.
Suhail berkata, “Adapun Ar-Rohim maka demi Allah, aku tidak tahu apa
itu?, tapi tulislah saja bismikallahumma sebagaimana engkau pernah
menulis demikian” (karena kebiasaan orang jahilah dahulu mereka menulis
“bimikallahumma” dan mereka tidak mengenal bismillahirromanirrohim,
lihat Umdatul Qori 14/13). Kaum muslimin (yaitu para sahabat Nabi
shallallahu 'alihi wa sallam) berkata, “Demi Allah kami tidak akan
menulis kecuali bimillahhirrohmanirrohim”. Nabi shallallahu 'alihi wa
sallam berkata kepada si penulis, “Tulilah bismikallahumma”, kemudian
beliau shallallahu 'alihi wa sallam memerintahkan untuk menulis “Ini
adalah keputusan Muhammad utusan Allah”. Suhail berkata, “Demi Allah
kalau kami mengetahui bahwasanya engkau adalah utusan Allah maka kami
tidak akan menghalangimu untuk umroh dan kami tidak akan memerangimu,
tapi tulislah “Muhammad bin Abdillah”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam
berkata, “Demi Allah aku adalah utusan Allah meskipun kalian
mendustakan aku, tulislah “Muhammad bin Abdillah”. ((Dalam riwayat yang
lain dari hadits Al-Baro’ –HR Al-Bukhari no 3184- Dan Nabi shallallahu
'alihi wa sallam tidak (pandai) menulis maka iapun berkata kepada Ali,
“Hapuslah tulisan “Utusan Allah!”. Ali berkata, “Demi Allah, aku tidak
akan menghapusnya selamanya”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata,
“Perlihatkanlah kepadaku tulisan tersebut!”, maka Alipun
memperlihatkannya kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, lalu Nabi
shallallahu 'alihi wa sallam pun menghapusnya dengan tangannya)). Lalu
Nabi berkata kepada Suhail, “Dengan syarat kalian membiarkan kami untuk
ke baitullah melaksanakan towaf”. Suhail berkata, “Demi Allah tidak
(bisa demikan) –Bangsa Arab akan mengatakan bahwa kami telah terpaksa
(mengalah membiarkan kalian umroh-pen)-, tapi kalian bisa umroh tahun
depan”, lalu hal itupun di catat (dalam pernyataan perdamaian), lalu
Suhai berkata (menambah pernyataan), “Dengan syarat tidak ada seorangpun
yang datang dari kami (dari Mekah) meskipun ia berada di atas agamamu
(Islam) kecuali engkau mengembalikannya kepada kami”. Para sahabat
berkata, “Subhanallah, bagaiamana dikembalikan kepada orang-orang
musyrik padahal ia telah datang (kepada kami) dalam keadaan beragama
Islam?”. Dan tatkala mereka masih berunding membuat pernyataan
perdamaian, tiba-tiba datang Abu Jandal anak Suhai bin ‘Amr dalam
keadaan berjalan tertatih-tatih karena ada belenggu yang membelenggunya,
ia telah lari dari bawah kota Mekah dan melemparkan dirinya di
tengah-tengah para sahabat. Berkata Suhai (ayah Abu Jandal), “Wahai
Muhammad ini adalah orang pertama yang aku menuntut engkau untuk
mengembalikannya kepadaku!”. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam berkata,
“Kita sama sekali belum selesai membuat pernyataan!”. Suhail berkata,
“Kalau begitu, demi Allah, aku sama sekali tidak mau mengadakan
perundingan damai denganmu”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata,
“Biarkanlah ia (Abu Jandal) bersamaku!”, Suhail berkata, “Aku tidak akan
membiarkannya bersamamu!”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata,
“Tidak, tapi engakau akan membiarkannya bersamaku, lakukanlah!”. Suhail
berkata, “Aku tidak akan melakukannya”.
Berkata Abu Jandal,
“Wahai kaum muslimin, apakah aku dikembalikan kepada orang-orang musyrik
(Mekah) padahal telah datang dalam keadaan beragama Islam?, tidakkah
kalian melihat apa yang telah menimpaku?”, dan ia telah disiksa oleh
orang-orang musyrik dengan siksaan yang keras karena bertahan di jalan
Allah.فقال عمر بن الخطاب فأتيت نبي الله صلى الله عليه
وسلم فقلت ألست نبي الله حقا قال بلى قلت ألسنا على الحق وعدونا على
الباطل قال بلى قلت فلم نعطي الدنية في ديننا إذا قال إني رسول الله ولست
أعصيه وهو ناصري قلت أو ليس كنت تحدثنا أنا سنأتي البيت فنطوف به قال بلى
فأخبرتك أنا نأتيه العام قال قلت لا قال فإنك آتيه ومطوف به قال فأتيت أبا
بكر فقلت يا أبا بكر أليس هذا نبي الله حقا قال بلى قلت ألسنا على الحق
وعدونا على الباطل قال بلى قلت فلم نعطي الدنية في ديننا إذا قال أيها
الرجل إنه لرسول الله صلى الله عليه وسلم وليس يعصي ربه وهو ناصره
فاستمسك بغرزه فوالله إنه على الحق قلت أليس كان يحدثنا أنا سنأتي البيت
ونطوف به قال بلى أفأخبرك أنك تأتيه العام قلت لا قال فإنك آتيه ومطوف به
Umar
berkata,”Akupun mendatangi Nabi shallallahu 'alihi wa sallam lalu aku
berkata kepadanya, “Bukankah engkau adalah benar seorang Nabi (utusan)
Allah?”, Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Tentu saja”, Aku
berkata, “Bukankah kita berada di atas kebenaran dan musuh kita berada
di atas kebatilan?”, Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Tentu
saja”, Aku berkata, “Lantas mengapa kita bersikap merendah pada agama
kita?”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Aku adalah Utusan
Allah dan aku tidak bermaksiat kepadaNya, dan Dia adalah penolongku”.
Aku (Umar) berkata, “Bukankah engkau perrnah mengatakan kepada kami
bahwa kita akan mendatangi ka’bah dan bertowaf di ka’bah?”, Nabi
shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Iya, namun apakah aku mengabarkan
kepadamu bahwa kita akan mendatangi ka’bah tahun ini?”, Umar bekata,
“Tidak”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya engkau
akan mendatangi ka’bah dan akan thowaf di sana”. Umar berkata, “Akupun
mendatangi Abu Bakar, lalu aku katakana kepadanya, “Wahai Abu Bakar ,
bukankah Nabi Muhammad adalah benar seorang Nabi (utusan) Allah?”, Abu
Bakar berkata, “Tentu saja”, Aku berkata, “Bukankah kita berada di atas
kebenaran dan musuh kita berada di atas kebatilan?”, Abu Bakar berkata,
“Tentu saja”, Aku berkata, “Lantas mengapa kita bersikap merendah pada
dalam agama kita?”, Abu Bakar berkata, “Wahai Umar, sesungguhnya ia
adalah utusan Allah, dan tidak akan bermaksiat kepada Tuhannya, dan
Tuhannya akan menolongnya, maka berpegangteguhlah dengan perintahnya dan
janganlah menyelisihinya!”. Aku berkata, “Bukankah ia pernah
mengabarkan kepada kita bahwa kita akan mendatangi ka’bah dan berthowaf
di ka’bah?”, Abu Bakar berkata, “Tentu saja, namun apakah ia mengabarkan
kepadamu bahwa engkau akan mendatangi ka’bah tahun ini?”, Aku berkata,
“Tidak”, Abu Bakar berkata, “Engkau akan mendatangi ka’bah dan akan
thowaf di sana!”. (HR Al-Bukhari no 2731, 2732, Fathul Bari 5/408-425,
Umdatul Qori 14/3-14)
Imam Nawawi berkata, “Para ulama berkata
bahwa bukanlah pertanyaan-pertanyaan Umar kepada Nabi shallallahu 'alihi
wa sallam di atas karena keraguan, namun karena karena beliau ingin
mengungkap apa yang ia tidak pahami (kenapa Nabi shallallahu 'alihi wa
sallam bisa memutuskan demikian –pen) dan untuk memotivasi (Nabi
shallallahu 'alihi wa sallam dan Abu Bakar) untuk merendahkan
orang-orang kafir dan memenangkan Islam sebagaimana hal ini merupakan
akhlak beliau dan semangat dan kekuatan beliau dalam menolong agama dan
menghinakan para pelaku kebatilan. Adapun jawaban Abu Bakar kepada Umar
yang seperti jawaban Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, hal ini
merupakan tanda yang sangat jelas akan tingginya kemuliaan Abu Bakar dan
dalamnya ilmu beliau serta menunjukan kelebihan beliau di atas para
sahabat yang lain dalam pengetahuan dan kemantapan ilmu pada seluruh
perkara tersebut” (Al-Minhaj 12/141, atau cetakan Al-Ma’arif 12/353)
[10] HR At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 1/72 dan Al-Bazzar dalam musnadnya 1/254
[11]
Berkata Al-Muhib At-Thobari, “Hudaibiyah adalah sebuah kampung yang
letaknya dekat dengan Mekah, dan sebagian besar wilayah Hudaibiyah masuk
dalam tanah suci haram” (Umdatul Qori 14/6)
[12] HR Al-Bukhari no 3182, Lihat Umdatul Qori 15/104
[13]
HR Abu Dawud 1/42 dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, dan dihasankan
oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari. Beliau juga menghasankannya dalam
bulughul maram, namun beliau mengatakan dalam At-Talkhish “Isnadnya
shahih”
[14] Majmu’ Fatawa 5/29
[15] Ad-Dzahabi menukil perkataan Imam Malik ini dala As-Siyar 8/99
[16] Siyar A’lam An-Nubala’ 10/34 dan Hilyatul Auliya’ 9/106
[17]
HR Al-Bukhari no 5479 dan Muslim 1954, Ad-Darimi no 454 (1/407) dan
lafal ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Battoh dalam
Al-Ibanah hal 96 (lihat ta’dzimus sunnah hal 24)
[18] Al-Minhaj syarh shahih Muslim 13/106
[19] Fathul Bari 9/753
[20] HR Muslim no 442, Al-Bukhari no 865 namun tanpa ada kisah marahnya Abdullah bin Umar kepada anaknya Bilal
[21] Al-Minhaj syarh Shaihih Muslim 4/384
[22] Fathul Bari 2/450
[23]
Yaitu perkataan Aisyah لَوْ أَدْرَكَ رَسُوْلُ اللهِ مَا أَحْدَثَ
النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيْلَ
“Kalau seandainya Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam menjumpai apa
yang diperbuat oleh para wanita (di zaman Aisyah sepeninggal Rasulullah
shallallahu 'alihi wa sallam-pen) maka ia akan melarang mereka
sebagaimana dilarangnya para wanita dari bani Israil” (HR Al-Bukhari no
869)
[24] Lihat Musnad Imam Ahmad no 4933
[25] Fathul Bari 2/450
[26] Dikeluarkan oleh Ibnu Battoh di Al-Ibanah no 94
[27] Dikeluarkan oleh Ibnu Battoh dalam Al-Ibanah no 95
[28] Siyar A’lam An-Nubala (15/485) dan Thobaqoot As-Syafi’iyah karya As-Subki (3/10)
[29] Madarijus Salikin 1/334
[30] Madarijus Salikin 1/334
[31] Al-Wabil As-Soyyib hal 24, dar Ibnul Jauzi
[32]
HR Ad-Darimi no 206 (1/285). Berkata Pentahqiq, “Isnadnya shahih dan
atsar ini juga dikeluarkan oleh Ibnu Battoh dalam Al-Ibanah 2/517 no 607
dan Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam fi Usulil Ahkam 6/1030 dari dua jalan
keduanya dari Malik bin Migwal”
[33] HR Ad-Darimi no 446 (1/401), berkata pentahqiq :”Isnadnya shohih”
[34] I’lamul Muwaqqi’in 2/201
[35] I’lamul Muwaqqi’in 2/202
[36] Maksudnya adalah haji qiron. Haji qiron juga disebut tamattu’ karena digabungkannya umroh dan haji dalam satu amalan
[37] Jami’ bayan Al-‘Ilmi wa fadlihi 1/129 no 443, Musnad Ahmad no 3121
[38] Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam Kitabut Tauhid.
[39] HR Muslim (Al-Masajid, bab qodho As-Sholat Al-Faitah)
[40]
HR Ahmad dalam kitab fadhoil As-Shohabah 1/186, di Al-Musnad 5/399,
Al-Bukhari di Al-Kuna hal 50 dan At-Thirmidzi dalam sunannya
(Al-Manaqib, bab manaqib Abi Bakr wa Umar), beliau berkata, Hadits
Hasan”
[41] HR Ahmad dalam Al-Musnad 4/126,127, Abu Dawud
(As-Sunnah, bab luzumis Sunnah), At-Thirmidzi (Kitabul Ilmu, bab ما جاء
في الأَخذ في السنة واجتناب البدعة)
[42] Al-Qaoul Al-Mufid, Syaikh Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi 2/152
[43]
Berkata Syaikh Al-Albani; “Diriwayatkan oleh At-Thohawi dalam Syarh
Ma’anil Atsar (1/372 fotokopian maktabah) dan Abu Ya’la pada musnadnya
(3/1317) dengan isnad yang jayyid (baik), para perawinya tsiqoh” (Sifat
sholat Nabi hal 54)
[44] Mengisy’ar yiatu memberi tanda kepada
onta dengan menggores (melukai) salah satu sisi dari dua sisi punuk unta
hingga mengalir darahnya, yang ini dijadikan sebagai tanda bahwa onta
ini merupakan hewan hadyu haji. (Tuhfatul Ahwadzi 3/770)
[45] Atsar ini dibawakan oleh Imam At-Thirmidzi dalam sunan beliau di bawah hadits no 906.
[46] Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam Kitabut Tauhid
[47] HR Ad-Darimi no 455 (1/401), berkata pentahqiq ,”Isnadnya hasan karena ada perowi yang bernamaSa’id bin Basyir”
[48]
Karena kalimat شَيْءٍ adalah nakiroh dalam konteks kalimat syarat maka
memberikan faedah keumuman (sebagaimana kaedah ini jelas dalam
kitab-kitab ushul fiqh). Lihat Sittu Duror hal 74, dan Adhwaul Bayan
1/204
[49] Majmu’ Fatawa 28/471
[50] Mukhtashor Sowa’iq Al-Mursalah 2/353
[51]
Sebagaimana perkataa Al-Kirkhi dalam bukunya Ar-Risalah fi ushulil
hanafiyah hal 169-170 (dicetak bersama buku ta’sis an-nadzor, karya
Ad-Dabbusi): “Semua ayat yang menyelesihi pendapat para sahabat kami
(penganut madzhab Hanafi) maka ayat tersebut di ta’wil (dipalingkan
maknanya dari makna yang dzhohir/nampak) atau ayat tersebut sudah
mansukh. Dan demikian juga halnya dengan seluruh hadits maka dita’wil
atau mansukh”
[52] Yang lebih menyedihkan lagi adalah kenyataan
pahit yang nampak di sebagian pendok-pondok pesantren yang ada di
Indonesia dimana murid-murid pndok pesantren menjadikan perkataan para
kiyai mereka (yang jelas-jelas kedudukannya jauh di bawah kedudukan para
imam madzhab) seperti perkataan Nabi. Apalagi jika kiyai tersebut telah
mendapatkan predikat WALI, maka seluruh perkataannya dibenarkan oleh
para pengikutnya. Bahkan diantara mereka ada yang mengatakan “Seandainya
wali fulan menyatakan bahwa langit warnanya merah maka akan saya
benarkan”???
[53] Ibnu Abidin, dalam hasyiahnya (1/63) dan
risalah beliau “Rosmul Mufti” (1/4 dari majmu’ah rosail Ibnu Abidin).
Lihat Sifat sholat Nabi hal 46 (catatan kaki)
[54] Ibnu Abdil
Barr dalam bukunya “Al-Intiqo’ fi fadhoil Ats-Tsalatsah Al-Aimmah
Al-Fuqoha’” hal 145, Ibnu Abidin dalam Hasyiahnya terhadap Al-Bahr
Ar-Roiq (6/293) dan dalam Rosmul Mufti hal 29,32, lebih lengkapnya
selanjutnya lihat Sifat Sholat Nabi hal 46 (catatan kaki)
[55] Sifat shalat Nabi hal 47
[56] Ibnu Abdilbar dalam Al-Jami’ (2/32)
[57] Lihat takhrij atsar ini dalam shifat sholat Nabi hal 49
[58]
Muqoddimah Al-Jarh wa At-Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim hal 31-32 dan
diriwayatkan secara sempurna oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan (1/81)
[59] An-Nawawi dalam Majmu’ (1/63)
[60] An-Nawawi dalam Majmu’ (1/63)
[61] Ibnu Asakir, dalam tarikh Dimasq dengan sanad yang shahih 15/10/1
[62] Ibnu Abi Hatim hal 93-94
[63] Ibnul Qoyyim, I’lamul Muwaqqi’in (2/302)
[64] Ibnu Abdilbar di “Al-Jami’” (2/149)
[65] Sifat shalat Nabi hal 53-54
sumber : http://www.firanda.com/index.php/artikel/aqidah/110-bukti-bukti-cinta-kepada-nabi-shallallahu-alihi-wa-sallam